Dari Sumenep ke Kalteng Demi “Bisnis Belas Kasih” Menjadi “Pengemis Kaya”
Modal utama para pengemis hanya berupa penampilan memelas dan lokasi strategis seperti persimpangan lampu merah, kafe, depan minimarket, atau tempat ibadah. “Tanpa perlu keterampilan khusus, hanya cukup akting saja, mereka bisa mendapatkan Rp50.000 sampai Rp200.000 per hari, bahkan melebihi upah buruh harian yang bekerja lembur,” jelasnya.
Kondisi ini menciptakan distorsi ekonomi yang mengkhawatirkan. Ketika mengemis lebih menguntungkan daripada bekerja serabutan, hal tersebut berpotensi menarik lebih banyak orang untuk masuk ke “bisnis belas kasih” ini.
Dampak Berlapis pada Masyarakat
Kedua akademisi sepakat bahwa fenomena ini menciptakan dampak negatif berlapis. Pertama, para pengemis hanya menjadi free rider yang memanfaatkan keadaan tanpa berkontribusi pada perekonomian melalui kerja produktif.
Kedua, keberadaan “pebisnis belas kasih” ini justru merugikan mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan. “Mungkin saja di luar sana ada orang yang benar-benar dalam kondisi darurat, sudah tua renta, tidak punya keluarga, tidak punya harta untuk kehidupan sehari-hari. Tapi dengan munculnya pebisnis belas kasih, orang yang memang membutuhkan jadi terabaikan,” kata Suherman.
Akibatnya, masyarakat mengalami trust issue terhadap pengemis yang ada. Ketiga, keberadaan pengemis dalam jumlah besar menurunkan daya tarik Palangka Raya sebagai kota yang berpotensi memengaruhi investasi dan pariwisata.
“Pengemis kaya berhasil melakukan manipulasi simbol kemiskinan, jadi banyak yang membela. Padahal fenomena ini juga simbol kegagalan negara,” tambah Yuliana.