Dari Sumenep ke Kalteng Demi “Bisnis Belas Kasih” Menjadi “Pengemis Kaya”
CYRUSTIMES, PALANGKA RAYA – Menjamurnya pengemis di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) kembali mencuri perhatian publik. Yang mengejutkan, pengemis yang didominasi pendatang dari luar daerah yakni Sumenep tersebut ternyata memiliki kondisi ekonomi yang tidak seburuk yang digambarkan. Fenomena “pengemis kaya” ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang sistem sosial dan ekonomi yang berlaku di masyarakat.
Yuliana, dosen Sosiologi Universitas Palangka Raya, menilai fenomena ini membuka dimensi baru dalam pembahasan kemiskinan. “Mengemis tidak selalu lagi identik dengan kemiskinan, tapi bisa menjadi strategi ekonomi atau bahkan profesi terselubung,” ujarnya kepada Cyrustimes, Minggu (25/5/2025).
Sementara itu dihari yang sama, Suherman, pengamat ekonomi dan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPR sekaligus peneliti di Institute for Economic Research and Training (INTEREST), menyebut fenomena ini sebagai “bisnis belas kasih” yang memanfaatkan rasa iba masyarakat sebagai sumber pendapatan.
Kasus Nardi dan Jejak Kampung Pengemis
Salah satu kasus yang mencuat adalah Nardi (50), pengemis asal Sumenep, Jawa Timur, yang kini berkeliling di Kota Palangka Raya. Pria paruh baya itu mengaku terpaksa mengemis untuk mengumpulkan ongkos pulang ke kampung halaman setelah mengalami kecelakaan di Kabupaten Kotawaringin Timur, Sampit.
Namun, informasi yang beredar di masyarakat menyebutkan bahwa Nardi pernah terlihat meminta sumbangan dengan dalih untuk pembangunan masjid di wilayah Kota Palangka Raya. Klaim yang kontradiktif ini menguatkan dugaan adanya manipulasi dalam praktik mengemis tersebut.
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Beberapa media sebelumnya telah mengangkat keberadaan “Kampung Pengemis” di Desa Pragaan Daya, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep. Mengutip repository.unair.ac.id, mayoritas penduduk di desa tersebut berprofesi sebagai pengemis, bahkan termasuk mereka yang hidup berkecukupan.
Studi dari library.unmer.ac.id menyebutkan bahwa motif masyarakat mengemis adalah budaya turun-temurun yang diperkuat oleh kualitas sumber daya manusia yang rendah, mengakibatkan pola pikir yang kurang kreatif dan pandangan hidup yang sempit.
Analisis Sosiologis: Lemahnya Pengawasan Sosial
Menurut Yuliana, praktik mengemis sebagai strategi untuk meraup keuntungan menunjukkan adanya celah dalam sistem sosial dan lemahnya pengawasan masyarakat. “Ini bukan lagi semata-mata soal kemiskinan, tapi juga soal moral, dan bagaimana masyarakat menilai kerja dan penghasilan,” katanya.
Dosen sosiologi tersebut menilai fenomena pengemis kaya ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja yang dapat diakses oleh warga yang tidak memiliki keterampilan khusus. “Peluang kerja sempit, sistem kesejahteraan tidak merata distribusinya, sehingga masyarakat menciptakan cara sendiri untuk bertahan hidup,” jelasnya.
Perspektif Ekonomi: Perilaku Rasional dengan Dampak Negatif
Dari sudut pandang ekonomi, Suherman menilai perilaku para pengemis sebagai pilihan rasional. “Dalam perspektif ekonomi, perilaku seperti ini bisa disebut perilaku rasional karena mengemis bisa memberikan pendapatan tinggi dengan modal minim,” katanya.
Modal utama para pengemis hanya berupa penampilan memelas dan lokasi strategis seperti persimpangan lampu merah, kafe, depan minimarket, atau tempat ibadah. “Tanpa perlu keterampilan khusus, hanya cukup akting saja, mereka bisa mendapatkan Rp50.000 sampai Rp200.000 per hari, bahkan melebihi upah buruh harian yang bekerja lembur,” jelasnya.
Kondisi ini menciptakan distorsi ekonomi yang mengkhawatirkan. Ketika mengemis lebih menguntungkan daripada bekerja serabutan, hal tersebut berpotensi menarik lebih banyak orang untuk masuk ke “bisnis belas kasih” ini.
Dampak Berlapis pada Masyarakat
Kedua akademisi sepakat bahwa fenomena ini menciptakan dampak negatif berlapis. Pertama, para pengemis hanya menjadi free rider yang memanfaatkan keadaan tanpa berkontribusi pada perekonomian melalui kerja produktif.
Kedua, keberadaan “pebisnis belas kasih” ini justru merugikan mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan. “Mungkin saja di luar sana ada orang yang benar-benar dalam kondisi darurat, sudah tua renta, tidak punya keluarga, tidak punya harta untuk kehidupan sehari-hari. Tapi dengan munculnya pebisnis belas kasih, orang yang memang membutuhkan jadi terabaikan,” kata Suherman.
Akibatnya, masyarakat mengalami trust issue terhadap pengemis yang ada. Ketiga, keberadaan pengemis dalam jumlah besar menurunkan daya tarik Palangka Raya sebagai kota yang berpotensi memengaruhi investasi dan pariwisata.
“Pengemis kaya berhasil melakukan manipulasi simbol kemiskinan, jadi banyak yang membela. Padahal fenomena ini juga simbol kegagalan negara,” tambah Yuliana.
Kendala Hukum dan Implementasi
Sebenarnya, Pemerintah Kota Palangka Raya telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 yang melarang aktivitas mengemis. Dalam peraturan tersebut, tidak hanya pengemis yang dilarang beraktivitas, tetapi juga masyarakat yang memberikan uang kepada pengemis.
Namun, implementasi peraturan ini masih menghadapi tantangan, terutama terkait edukasi masyarakat. “Penawaran (supply) dari masyarakat yang masih mudah memberi menjadi faktor utama. Semakin banyak orang memberi, semakin banyak pula yang tertarik masuk ke bisnis ini,” ungkap Suherman.
Solusi Komprehensif Diperlukan
Untuk mengatasi permasalahan ini, kedua akademisi mengusulkan solusi komprehensif yang melibatkan berbagai pihak.
Yuliana menyarankan tiga langkah strategis: penertiban dari pemerintah terhadap praktik “pengemis kaya”, edukasi kepada masyarakat tentang norma kedermawanan agar tidak memberi sumbangan sembarangan, dan pembentukan lembaga penyalur bantuan bagi orang miskin yang tepat sasaran.
Sementara Suherman menekankan pentingnya program padat karya atau pelatihan wirausaha mikro dengan insentif menarik. “Bukan cuma pemerintah, masyarakat juga perlu diedukasi bahwa memberi uang tunai justru memperpanjang siklus bisnis belas kasih. Bantuan sebaiknya disalurkan lewat program sosial terstruktur melalui lembaga zakat, tempat ibadah, atau lembaga nonprofit kemanusiaan lainnya,” terangnya.
Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi pengemis yang benar-benar tidak mampu versus yang menjadikan ini sebagai profesi. “Berikan bantuan yang berbeda sesuai kondisi mereka. Rehabilitasi sosial bagi mereka yang miskin kronis, sanksi tegas bagi pengemis profesional,” kata Suherman.
Kedua akademisi juga menekankan pentingnya ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum. “Harus ada ketegasan untuk menangkap dan mengamankan mereka ke dalam panti-panti sosial yang tersedia. Kalau belum tersedia, harus disediakan,” tegasnya.
“Pengentasan secara sistematis diperlukan karena tanggung jawab keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berada di tangan pemerintah,” pungkas Yuliana.
Fenomena “pengemis kaya” di Kalimantan Tengah menjadi cermin kompleksitas persoalan sosial ekonomi yang memerlukan penanganan holistik dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga akademisi untuk membangun masyarakat yang produktif dan bermartabat.
Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita