Pendidikan

Dibalik Viral Toga Kardus Perpisahan Siswa Tunggal SD Negeri di Pedalaman Katingan Kalteng

Resky Fahriadit berdiri sendiri dalam prosesi kelulusan mengenakan Toga Kardus.

CYRUSTIMES, PALANGKA RAYA – Di bawah langit pedalaman Kalimantan yang sepi, sebentuk toga dari kardus usang bertengger di kepala bocah kurus berkulit sawo matang. Tanpa alas kaki, mata yang berkaca-kaca, dan tubuh ringkih berbalut seragam merah putih yang telah lusuh, Resky Fahriadit berdiri sendiri dalam prosesi kelulusan yang menyayat hati. Ia adalah satu-satunya siswa kelas 6 SD Negeri Rangan Bahekang, Kecamatan Bukit Raya, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah (kalteng), menjadi potret pendidikan Indonesia yang terlupakan.

Video perpisahan berdurasi 1 menit 21 detik yang diunggah Fery Irawan, seorang guru sekolah tersebut, di Facebook menjadi viral dan mengundang simpati warganet. Rekaman ini membuka tabir kondisi pendidikan di daerah terpencil Indonesia yang masih memprihatinkan.

“Meskipun siswa kelas 6-nya hanya satu orang, hal itu tidak melunturkan semangat kami sebagai guru untuk mendidiknya,” tulis Fery dalam keterangan videonya.

Potret Miris Pendidikan Pedalaman

Desa Rangan Bahekang hanya dihuni sekitar 30 kepala keluarga. Selain kekurangan murid, sekolah ini juga minim tenaga pengajar. Menurut Fery, SD Negeri Rangan Bahekang hanya memiliki dua pengajar tetap: dirinya sebagai guru kelas dan seorang kepala sekolah.

“Kami mengajar seluruh mata pelajaran, dibantu oleh dua tenaga honorer yaitu penjaga sekolah dan staf tata usaha,” ungkap Fery ketika dihubungi Cyrustimes pada Selasa, 20 Mei 2025.

Total siswa di sekolah tersebut hanya 13 anak dari kelas 1 hingga 6. Jumlah yang sangat minim untuk sebuah sekolah dasar negeri.

Terisolasi dari Peradaban

Akses menuju Desa Rangan Bahekang menjadi tantangan tersendiri. Dari Palangka Raya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, perjalanan memakan waktu lebih dari 12 jam dengan kombinasi transportasi darat dan sungai.

“Kalau berangkat pukul 7 pagi dari Palangka Raya, kami baru tiba di desa sekitar pukul 9 malam,” kata Fery.

Jalan darat menuju Desa Tumbang Sanamang, yang searah dengan desa tersebut, merupakan jalan negara yang kondisinya rusak parah. Dari Tumbang Sanamang, perjalanan dilanjutkan menggunakan perahu kecil melalui sungai berbatu terjal selama sekitar dua jam.

“Di sini kami juga tidak punya akses listrik, hanya mengandalkan tenaga surya. Sinyal komunikasi pun menggunakan tower panel surya yang tidak berfungsi saat mendung,” tambahnya.

Harapan di Tengah Keterbatasan

Seusai lulus, Resky berencana melanjutkan pendidikan ke SMP yang berjarak tempuh sekitar 30 menit dari desanya. Namun, akses jalan yang sulit menjadi kekhawatiran akan menghambat, bahkan memupus, mimpi anak-anak desa untuk meraih pendidikan lebih tinggi.

“Akses jalan, terutama menuju Tumbang Sanamang, sangat sulit. Itu jalan negara dan perlu diperhatikan pemerintah,” ujar Fery.

Desa tersebut juga membutuhkan akses listrik dan sinyal internet yang memadai untuk mendukung digitalisasi pembelajaran. Meski begitu, para guru tetap berupaya memberikan pendidikan terbaik di tengah keterbatasan.

“Kami terus berusaha agar para murid bisa mendapatkan pendidikan yang layak,” kata Fery menutup perbincangan.

Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita

Tutup
Exit mobile version