Hukum Kriminal

Koalisi Masyarakat Sipil Tuding Pengadilan Sesat dalam Kasus Kades Tempayung

Koalisi Keadilan untuk Tempayung saat melakukan protes di depan Kantor Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah.

Juru bicara koalisi itu menyoroti inkonsistensi dalam penerapan hukum pidana. “Perbuatan yang didakwakan mencakup ritual adat kolektif yang dilakukan oleh masyarakat luas. Tapi anehnya, hanya terdakwa yang diproses,” ungkapnya. Menurut Sesa, hal ini bertentangan dengan logika hukum pidana Pasal 55 KUHP tentang penyertaan pidana.

Dalam pernyataan tersebut, koalisi juga mengkritisi penolakan hakim dan jaksa terhadap status masyarakat adat di Desa Tempayung hanya karena tidak terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). “Pengakuan masyarakat hukum adat tidak bergantung pada satu lembaga saja,” tegas Sesa.

Kejanggalan kelima menyangkut sikap hakim yang mengakui motif sosial terdakwa dalam membantu masyarakat menyalurkan aspirasi terkait pembagian plasma, namun tetap menjatuhkan hukuman. “Ini seharusnya menjadi pertimbangan kuat untuk menerapkan restorative justice, bukan pemenjaraan,” kata Sesa.

Temuan paling mengejutkan adalah adanya nama saksi ahli bernama Zikri Rachmani dalam salinan putusan, yang menurut koalisi tidak pernah muncul selama proses persidangan dari BAP hingga sidang terakhir. “Ini bukti konkret bahwa Pengadilan Negeri Pangkalan Bun telah menjalankan peradilan sesat,” tegas juru bicara koalisi tersebut.

Kasus ini berawal dari konflik antara masyarakat Desa Tempayung dengan PT Sungai Rangit terkait pembagian lahan plasma. Kepala desa setempat didakwa melakukan tindakan yang merugikan perusahaan ketika memimpin aksi protes warga di area perkebunan.

Koalisi Keadilan untuk Tempayung yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat sipil berjanji akan terus mengawal kasus ini hingga ke tingkat kasasi jika diperlukan. “Kasus ini menjadi preseden buruk bagi perjuangan masyarakat adat di seluruh Indonesia,” tutup Sesa.

Tutup
Exit mobile version