CYRUSTIMES, PALANGKA RAYA – Koalisi Masyarakat Sipil melayangkan kritik keras terhadap proses persidangan kasus Kepala Desa (Kades) Tempayung di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun. Dalam pernyataan sikap dengan melakukan aksi di depan kantor Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah, Selasa, 6 Mei 2025, koalisi mengungkap tujuh kejanggalan dalam proses hukum yang dinilai mencederai prinsip keadilan.

“Kami menemukan indikasi peradilan sesat yang sistematis dalam kasus ini,” ujar Agung Sesa, Juru Bicara Koalisi Keadilan untuk Tempayung.

Kritik pertama koalisi tertuju pada sikap Penuntut Umum yang dianggap mengabaikan substansi pembelaan terdakwa. Menurut koalisi, Jaksa hanya mengulang dakwaan tanpa memberikan tanggapan berarti terhadap poin-poin krusial dalam pleidoi yang diajukan penasihat hukum. Ini dinilai bertentangan dengan prinsip fair trial.

Kejanggalan kedua berkaitan dengan penentuan kerugian PT Sungai Rangit yang tidak melibatkan pihak independen. “Klaim kerugian hanya didasarkan pada testimoni internal, bukan penilaian dari Kantor Akuntan Publik atau Kantor Jasa Penilai Publik yang kompeten,” kata Sesa.

Ia menambahkan, cara penentuan kerugian tersebut berpotensi melanggar standar pembuktian “beyond reasonable doubt” sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP.

Koalisi juga mempersoalkan karakteristik kasus yang menurut mereka lebih tepat dikategorikan sebagai sengketa perdata. “Kasus ini memenuhi unsur prejudicieel geschil karena status lahan adat belum selesai secara hukum,” tutur Sesa. Namun keberatan ini tidak dipertimbangkan majelis hakim, dengan dalih sudah dibahas dalam putusan sela.

Juru bicara koalisi itu menyoroti inkonsistensi dalam penerapan hukum pidana. “Perbuatan yang didakwakan mencakup ritual adat kolektif yang dilakukan oleh masyarakat luas. Tapi anehnya, hanya terdakwa yang diproses,” ungkapnya. Menurut Sesa, hal ini bertentangan dengan logika hukum pidana Pasal 55 KUHP tentang penyertaan pidana.

Dalam pernyataan tersebut, koalisi juga mengkritisi penolakan hakim dan jaksa terhadap status masyarakat adat di Desa Tempayung hanya karena tidak terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). “Pengakuan masyarakat hukum adat tidak bergantung pada satu lembaga saja,” tegas Sesa.

Kejanggalan kelima menyangkut sikap hakim yang mengakui motif sosial terdakwa dalam membantu masyarakat menyalurkan aspirasi terkait pembagian plasma, namun tetap menjatuhkan hukuman. “Ini seharusnya menjadi pertimbangan kuat untuk menerapkan restorative justice, bukan pemenjaraan,” kata Sesa.

Temuan paling mengejutkan adalah adanya nama saksi ahli bernama Zikri Rachmani dalam salinan putusan, yang menurut koalisi tidak pernah muncul selama proses persidangan dari BAP hingga sidang terakhir. “Ini bukti konkret bahwa Pengadilan Negeri Pangkalan Bun telah menjalankan peradilan sesat,” tegas juru bicara koalisi tersebut.

Kasus ini berawal dari konflik antara masyarakat Desa Tempayung dengan PT Sungai Rangit terkait pembagian lahan plasma. Kepala desa setempat didakwa melakukan tindakan yang merugikan perusahaan ketika memimpin aksi protes warga di area perkebunan.