Saksi PT Sungai Rangit Sampoerna Agro Diduga Berikan Keterangan Tidak Benar dalam Sidang Kades Tempayung
PANGKALAN BUN – Persidangan kasus yang melibatkan Kepala Desa (Kades) Tempayung, Syachyunie, kembali digelar di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Selasa (25/2/2025). Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi ini menghadirkan tiga karyawan PT Sungai Rangit Sampoerna Agro Tbk dan dua warga Desa Tempayung.
Berdasarkan rilis tertulis dari Koalisi keadilan untuk Tempayung menyebutkan, dalam persidangan yang dimulai pukul 11.00 WIB, para saksi dari PT Sungai Rangit Sampoerna Agro yakni Azmi, Taufan, dan Bima diduga memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta. Hakim dan tim pengacara dari PHD AMAN Kobar dan PIL-Net (Public Interest Lawyer Network) bahkan sampai memperingatkan para saksi tersebut tentang ancaman pidana sumpah palsu sesuai Pasal 242 KUHPidana.
Keterangan Saksi yang Dipertanyakan
Saksi Azmi Zaky dan Taufan Purnama Putra dalam keterangannya menyatakan bahwa tindakan pemortalan lahan diinisiasi oleh terdakwa Syach Yunie. Mereka juga mengklaim luas perkebunan sawit PT Sungai Rangit Sampoerna Agro di Desa Tempayung sekitar 1.000 hektar, serta menyebut warga menuntut hak plasma sebanyak 20% dari total wilayah Desa Tempayung.
Namun ketika ditanya lebih lanjut mengenai dasar keterangan tersebut, kedua saksi mengaku tidak mengetahui persis tindakan-tindakan terdakwa saat peristiwa yang terjadi sekitar April 2024 itu. Mereka juga tidak dapat menunjukkan bukti konkret yang menunjukkan bahwa aksi tersebut diinisiasi secara tunggal oleh Kades Tempayung.
Kesaksian Berbeda dari Warga Tempayung
Berbeda dengan keterangan saksi dari perusahaan, Mulyanto yang merupakan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Tempayung menerangkan dengan tegas bahwa aksi warga tersebut merupakan lanjutan dari perjuangan panjang yang telah berlangsung setidaknya sejak tahun 2022 dan merupakan aspirasi murni dari warga Desa Tempayung.
“Dalam surat-surat protes dan surat pemberitahuan pemortalan secara adat dilengkapi dengan tanda tangan mayoritas warga Tempayung yang tergabung dalam Masyarakat Tempayung Bersatu. Jumlahnya ratusan,” ungkap Mulyanto.
Saksi warga kedua, Hajat, juga membenarkan pernyataan ini. Ia menegaskan bahwa aksi tersebut muncul dari keresahan seluruh warga Tempayung yang tak kunjung mendapatkan keadilan berupa penyerahan 20% kebun plasma dari perusahaan.
Saksi Perusahaan Ubah Keterangan
Taufan, salah satu saksi dari PT Sungai Rangit Sampoerna Agro, tampak tidak konsisten saat dikonfrontir tim kuasa hukum mengenai luas lahan perusahaan di Desa Tempayung. Ia mengaku tidak mengetahui jumlah persis lahan tersebut.
Di akhir persidangan, Taufan bahkan mengubah keterangannya tentang dasar perhitungan 20% hak plasma yang dituntut masyarakat. Semula ia menyebut perhitungan berdasarkan luas desa, kemudian diubah menjadi berdasarkan luas kebun. Perubahan ini terjadi setelah terdakwa Kades Tempayung menggunakan hak sanggahnya, yang kemudian dikuatkan oleh saksi Mulyanto dan Hajat.
Akar Permasalahan
Kasus ini bermula dari tuntutan hak masyarakat Desa Tempayung yang merasa dirugikan oleh PT Sungai Rangit Sampoerna Agro. Perusahaan yang telah beroperasi sejak 1999 tersebut dianggap belum melaksanakan kewajiban memberikan kemitraan plasma perkebunan kepada masyarakat.
Tuntutan warga didasarkan pada UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2021. Regulasi tersebut mewajibkan perusahaan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari Hak Guna Usaha (HGU) yang dimilikinya.
“Perjuangan masyarakat adat Tempayung juga didasari atas pengakuan konstitusi atas hak masyarakat adat yang tercantum dalam Pasal 18B UUD 1945,” demikian dijelaskan oleh Koalisi Keadilan Untuk Tempayung yang mendampingi kasus ini.
Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita