Jika kita telaah lagi, tidak sedikit di antaranya para mahasiswa, masyarakat adat, dan jurnalis mendapatkan teror yang memengaruhi atau membungkam kebebasan mereka. Bentuknya seperti kiriman barang yang terkesan mengancam, diintai kediamannya beserta keluarga, serta bentuk langsung—baik ucapan, gestur, dan lainnya—yang dimulai dengan kesan ancaman.
Sejarah Teror oleh Penguasa
Dilansir dari Republika.co.id, Prof. Adam Roberts dalam “The Changing Faces of Terrorism” menjelaskan bahwa pada awal Revolusi Prancis, tindakan teror dilakukan Pemerintah Paris untuk memaksakan peraturan baru kepada warga negaranya. Kata “terorisme”, sebagaimana dicatat oleh Académie Française pada 1789, pertama kali bermakna “sistem atau aturan teror” (Sasongko, 2018).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sisi lain teror itu seringkali digunakan pemerintah terhadap warga negara. Sedangkan “humanis” yang menjadi gaya lain itu dapat kita lihat pada posisi mahasiswa maupun jurnalis setelah melakukan demonstrasi dan menulis fakta-fakta berkenaan dengan dampak atau implementasi kebijakan pemerintah yang buruk.
Kesaksian dari Lapangan
Beberapa responden dari kalangan jurnalis dan mahasiswa di Kalimantan Tengah mengaku sempat mendapat teror bergaya humanis.
“Setelah berita saya diterbitkan, kemudian saya ditelpon oleh salah satu anggota Pasukan Hijau dan diajak bertemu. Sontak saya terkejut dan bingung, sebab etika jurnalistik pada berita itu telah saya penuhi seluruhnya,” ungkap salah satu jurnalis media nasional di regional Kalimantan Tengah.