Jurnalis lain bercerita, “Saya mendapat undangan untuk mengikuti acara jogging bersama Gubernur. Ketika saya baru datang, langsung diusir oleh Satpol PP yang menjaga rumah jabatan, alasannya karena saya memakai celana pendek. Aneh, bukan? Ini acara olahraga, kecuali undangannya untuk acara pengajian, wajar kalau saya disuruh pulang dulu ganti celana panjang.”
“Ada lagi kejadian lain. Waktu itu tahun 2023, saya mengangkat berita adanya dugaan begal di Palangka Raya. Saya saat itu sudah melakukan konfirmasi kepada semua pihak termasuk Kapolsek, karena pihak mereka menerima laporan adanya begal dari masyarakat. Namun, setelah saya mempublikasikan berita itu, tidak lama kemudian saya diundang oleh pihak Aparat Penegak Hukum dengan cara yang cukup bersahabat. Eh, setibanya di sana, saya justru seperti disidang dan diminta untuk tidak memuat berita yang menimbulkan kegaduhan,” lanjutnya.
“Kami, baik sebelum maupun sesudah aksi terkait kebijakan pemerintah, tidak sedikit mengalami teror melalui undangan ngopi santai oleh pasukan coklat, dan setelah itu ada ungkapan penutup untuk menghentikan aktivitas kami,” tambah salah satu mahasiswa kampus negeri di Kalimantan Tengah.
Ketika Undangan Menjadi Intimidasi
Pengakuan-pengakuan tersebut menjadi pokok pembahasan terkait gaya humanis yang sebenarnya menakutkan. Dengan mengundang mereka untuk “santai semu”, adalah hal yang menebarkan ketakutan tersendiri bagi mereka. Gaya persuasif tersebut menjadi bentuk teror yang justru berdampak menakutkan. Tentu hal ini tidak bisa digeneralisasi untuk semua orang. Namun, beberapa orang yang merasakan ketidaknyamanan dan ketakutan dari gaya humanis itu menjadi bukti bahwa apa yang terjadi adalah “Teror Bergaya Humanis” oleh pemerintah sendiri terhadap warga negaranya.