Hukum Kriminal

Vonis Sesat di Tanah Dayak: Kades Tempayung Dikriminalisasi, Hakim Dilaporkan

Tim advokasi keadilan untuk Tempayung menyerahkan dokumen aduan di Komisi Yudisial. Foto Dokumentasi AMAN Pangkalan Bun.

“Ini berpotensi melanggar standar pembuktian beyond reasonable doubt yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP,” jelas Sesa.

Koalisi Keadilan untuk Tempayung saat melakukan protes di depan Kantor Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah.

Ketiga, kasus ini lebih tepat dikategorikan sebagai sengketa perdata karena status lahan adat belum selesai secara hukum (prejudicieel geschil). Keempat, terdapat inkonsistensi dalam penerapan hukum pidana, di mana ritual adat kolektif yang dilakukan oleh masyarakat luas hanya menjerat satu orang, bertentangan dengan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan pidana.

Kelima, hakim dan jaksa menolak status masyarakat adat Desa Tempayung hanya karena tidak terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Padahal, menurut Saksi Demang Adat Kotawaringin Lama, portal adat yang dipasang oleh Mantir dan masyarakat Tempayung adalah sah sesuai dengan Peraturan Daerah Kalimantan Tengah No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak.

Keenam, hakim mengakui motif sosial terdakwa dalam membantu masyarakat menyalurkan aspirasi terkait pembagian plasma, namun tetap menjatuhkan hukuman. “Ini seharusnya menjadi pertimbangan kuat untuk menerapkan restorative justice, bukan pemenjaraan,” kata Sesa.

Yang terakhir dan paling mengejutkan, adanya nama saksi ahli bernama Zikri Rachmani dalam salinan putusan yang tidak pernah muncul selama proses persidangan. “Ini bukti konkret bahwa Pengadilan Negeri Pangkalan Bun telah menjalankan peradilan sesat,” tegas Sesa.

Tutup
Exit mobile version