CYRUSTIMES, JAKARTA/PALANGKA RAYA – Perkara yang menjerat Syachyunie (48), Kepala Desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, kini memasuki babak baru. Tim Advokasi Keadilan untuk Tempayung bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melaporkan majelis hakim yang menangani kasus tersebut ke Komisi Yudisial, Senin (19/5/2025).
Laporan dugaan pelanggaran etik ini menyusul putusan kontroversial Pengadilan Negeri Pangkalan Bun dalam perkara pidana nomor 36/Pid.Sus/2025/PN Pbu yang menjatuhkan vonis kepada Syachyunie atas tuduhan menjadi dalang pemortalan (penutupan akses) ke perkebunan PT Sungai Rangit Sampoerna Agro.
” Kami menemukan sejumlah indikasi pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim dalam penanganan kasus ini,” kata Gregorius Retas Daeng, Ketua Tim Advokasi Keadilan untuk Tempayung, dihubungi Cyrustimes usai menyerahkan berkas pengaduan di kantor Komisi Yudisial, Jakarta.
Akar Konflik: Janji Plasma yang Tak Kunjung Terealisasi
Konflik ini bermula dari tuntutan masyarakat Desa Tempayung terhadap PT Sungai Rangit Sampoerna Agro terkait pemenuhan kewajiban plasma perkebunan. Perusahaan yang telah beroperasi sejak 1999 tersebut dianggap belum memenuhi kewajibannya memberikan kemitraan plasma sebesar 20 persen dari luas kebun sesuai UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dan PP No. 18 tahun 2021.
Menurut dokumen yang diperoleh Cyrustimes, masyarakat Tempayung telah berulang kali menyampaikan tuntutan kepada perusahaan jauh sebelum aksi pemortalan dilakukan, namun tidak mendapat tanggapan yang memadai.
Kriminalisasi Perjuangan Adat
Jaksa Penuntut Umum, Nurike Rindhahayuningpintra, menuntut Syachyunie dengan hukuman satu tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun pada 11 Maret 2025 lalu. Tuntutan ini menuai kritik keras dari berbagai elemen masyarakat sipil.

“Tuntutan satu tahun, dua tahun, atau lebih, bagi kami adalah bentuk pembungkaman perjuangan rakyat. Ini adalah cara mengkriminalisasi warga negara yang menuntut haknya,” tegas Gregorius saat itu.
Tim penasihat hukum menegaskan, jaksa dan majelis hakim gagal membuktikan keterlibatan langsung Syachyunie dalam tindakan pemortalan. Fakta persidangan menunjukkan tidak ada saksi fakta yang memberatkan Kades Tempayung, kecuali tiga karyawan PT Sungai Rangit yang memberikan keterangan tidak konsisten.
Tujuh Kejanggalan Hukum
Koalisi Masyarakat Sipil turut mengungkap tujuh kejanggalan dalam proses hukum kasus Kades Tempayung. Agung Sesa, Juru Bicara Koalisi Keadilan untuk Tempayung, menjelaskan temuan tersebut dalam aksi di depan kantor Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah, Selasa (6/5/2025).
Pertama, Penuntut Umum mengabaikan substansi pembelaan terdakwa dengan hanya mengulang dakwaan tanpa memberikan tanggapan berarti terhadap pleidoi. Kedua, penentuan kerugian PT Sungai Rangit tidak melibatkan pihak independen, melainkan hanya didasarkan pada testimoni internal perusahaan.
