Gunung Keramat Terancam, Warga Dayak Melawan Tambang Batu Bara di Muara Mea
Lima perusahaan tambang mengantongi izin di wilayah adat Muara Mea. Masyarakat Dayak Tewoyan kehilangan tempat suci dan sumber air bersih.
CYRUSTIMES, BUNTOK – Minto menatap Gunung Peyuyan dengan mata berkaca-kaca. Pria berusia 45 tahun itu sudah tak mengenali lagi gunung yang dianggap keramat oleh masyarakat Dayak Tewoyan di Desa Muara Mea, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. “Perusahaan menggusur hutan keramat di Gunung Peyuyan. Sekarang mereka juga mengancam Gunung Lumut. Ini bukan hanya soal hutan, ini soal iman kami,” katanya pada Kamis, 11 Juni 2025.
Dalam kepercayaan Kaharingan, agama asli masyarakat Dayak, Gunung Peyuyan adalah tempat roh orang meninggal menunggu sebelum diantar ke Gunung Lumut dalam prosesi adat bernama wara. Gunung Lumut adalah puncak tertinggi, tempat peristirahatan terakhir arwah leluhur. Di sinilah banyak sungai berhulu, termasuk Sungai Mea yang selama ini menjadi sumber air minum utama warga.
Kini, lima perusahaan tambang batu bara telah mengantongi izin konsesi di sekitar dan dalam wilayah adat seluas 36.872 hektare itu. Mereka adalah CV Anggi Jaya (5.389 ha), CV Duhup Sejati (3.557 ha), PT Haka Coal (671 ha), PT Multi Tambangjaya Utama (MUTU) dengan 3.929 hektare, dan PT Batu Bara Abadi. Konsesi-konsesi ini sebagian besar masuk ke kawasan sakral dan sumber penghidupan masyarakat.
Pak Mantung, tokoh adat setempat, menegaskan ancaman tersebut. “Kalau dua gunung itu rusak, kami kehilangan arah. Upacara kami tidak bisa dilangsungkan, tempat roh pulang pun tak ada lagi.”
Air Keruh, Anak-anak Diare
Konflik tak hanya soal wilayah spiritual. Kehidupan praktis warga juga terganggu. Sungai Mea yang sejak dulu menjadi tumpuan air minum dan kebutuhan rumah tangga kini tak lagi aman. Airnya keruh dan beberapa anak dilaporkan mengalami diare setelah mengonsumsinya.
“Sebelumnya kami minum langsung dari sungai, tidak pernah sakit. Tapi setelah tambang aktif, air jadi tidak layak. Kami terpaksa ambil dari Sungai Kenui atau beli galon dari Lampeong,” ujar Bu Mariana, warga Muara Mea.
Keresahan serupa bergema di Kecamatan Gunung Bintang Awai, Kabupaten Barito Selatan. Sejak Rabu, 18 Juni 2025, puluhan warga dari empat desa—Muara Singan, Luwir, Bipak Kali, dan Patas I—menggelar aksi damai di Simpang Aster, KM 69 jalan hauling PT MUTU. Aksi dilakukan setiap hari selama dua jam sebagai bentuk tekanan agar perusahaan merespons tuntutan mereka.
“Sudah puluhan kali mediasi, tapi hasilnya nihil. Kami hanya ingin bertemu pimpinan PT MUTU dan menyampaikan aspirasi secara langsung,” tegas M. Ali Hakim, koordinator aksi dari Muara Singan.
Di titik lain, warga Desa Bintang Ara menuntut penyelesaian sengketa lahan yang dijual sepihak oleh kelompok tani. Warga Desa Muara Mea mendesak pengembalian lahan yang dijual tanpa persetujuan oleh mantan kepala desa.
Viral di Media Sosial
Konflik mencuat ke permukaan setelah akun “Info X” mengunggah video yang memperlihatkan air berlumpur dan narasi dugaan pencemaran. Video itu viral dan memicu kemarahan yang lebih besar.
Merespons video tersebut, PT MUTU melalui Senior Manager Government Relations Rakhman Syah mengeluarkan klarifikasi resmi di Buntok pada 19 Juni 2025. “Informasi yang beredar menyesatkan dan tidak sesuai fakta. Hasil laboratorium menunjukkan air Sungai Singan masih dalam kategori layak konsumsi,” ujarnya.
Rakhman menambahkan, rembesan air dalam video kedua adalah insiden di kolam pengendapan internal (settling pond) yang tidak berdampak ke sungai besar maupun permukiman warga. PT MUTU juga mengklaim telah menjalankan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), namun usulan pengembangan ekonomi ditolak warga yang lebih memilih kompensasi tunai.
Perusahaan bahkan melangkah lebih jauh dengan melaporkan akun “Info X” ke Polres Barito Selatan atas dugaan penyebaran berita bohong dan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun, laporan ini justru memicu kemarahan warga.
“Kami sendiri yang meminta investigasi itu. Info X hanya membantu menyampaikan kenyataan yang kami alami,” ujar Murdiansyah, tokoh masyarakat.
WALHI Desak Pencabutan Izin
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah mengecam dugaan pencemaran yang dilakukan PT MUTU. Direktur Eksekutif WALHI Kalteng Bayu Herinata menilai hal ini sebagai bentuk kelalaian serius perusahaan.
“Jika terbukti benar, pencabutan izin operasional harus menjadi opsi utama. Penegakan hukum lingkungan tidak boleh tebang pilih,” tegas Bayu.
WALHI juga menyoroti lemahnya pengawasan oleh Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka mendesak investigasi independen serta mengutuk tindakan intimidatif terhadap wartawan yang meliput aksi warga.
Laporan WALHI Kalimantan Tengah yang disampaikan ke Kementerian Lingkungan Hidup menyebut adanya indikasi kejahatan lingkungan dan tata kelola dari sejumlah perusahaan ekstraktif, termasuk di sektor tambang batu bara. Salah satunya adalah dugaan aktivitas di kawasan hutan lindung dan pencemaran sumber air.
Mediasi Tanpa Hasil
Desakan agar laporan terhadap akun “Info X” dicabut disampaikan saat mediasi antara warga dan perusahaan yang difasilitasi Camat Gunung Bintang Awai, TNI, dan Polri. Hermansyah, Tim Legal PT MUTU yang hadir dalam mediasi, justru mengaku tidak tahu-menahu soal pelaporan tersebut.
“Saya tidak pernah melarang wartawan meliput. Tapi sebaiknya ada komunikasi terlebih dahulu saat masuk ke area tambang,” ucapnya.
Pernyataan ini bertolak belakang dengan video yang beredar luas dan diperkuat publikasi Mongabay Indonesia, yang memperlihatkan adanya larangan terhadap aktivitas jurnalistik oleh petugas keamanan perusahaan.
Kenedy, Kaur Perencanaan Desa Muara Mea, menyatakan PT MUTU pernah memberikan program CSR dalam bentuk susu dan kue ke posyandu desa. Namun, menurutnya, itu belum menyentuh akar persoalan. “Mayoritas warga di sini hidup dari pertanian ladang dan rotan. Kalau hutan rusak, bukan cuma air hilang, tapi juga ekonomi kami.”
Pembangunan atau Pemaksaan?
Di balik angka dan dokumen perizinan, suara masyarakat adat seperti terpinggirkan. Prosesi adat, sumber air, ekonomi subsisten, dan nilai-nilai spiritual yang selama ini dijaga perlahan digerus oleh kepentingan investasi.
Dayekson, warga desa berusia 50 tahun, menyebut komunitasnya tidak anti terhadap pembangunan. “Tapi pembangunan yang memaksa kami meninggalkan keyakinan, adat, dan hutan keramat itu bukan kemajuan, itu pemaksaan.”
PT MUTU menekankan komitmennya terhadap praktik penambangan yang baik, yang dibuktikan melalui penghargaan Good Mining Practice (GMP) Award dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) Biru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2024.
Namun, masyarakat dan organisasi lingkungan menilai penghargaan tersebut belum mencerminkan tanggung jawab konkret di lapangan. Aksi masyarakat dipastikan terus berlanjut hingga perusahaan memenuhi tuntutan mereka.
Warga tetap menuntut penyelesaian menyeluruh atas dugaan pencemaran, konflik agraria, serta tindakan intimidatif. Pemerintah daerah dan pusat didesak untuk tidak hanya menjadi penengah, tetapi juga mengambil langkah hukum tegas terhadap pelanggaran lingkungan dan sosial yang terjadi.
Muara Mea bukan hanya soal konflik lahan dan tambang. Ini adalah cerita panjang tentang komunitas adat yang sedang kehilangan tanahnya, perlahan tapi pasti, akibat perizinan yang melampaui batas nalar keadilan. Jika tak ada tindakan cepat dan berpihak, yang hilang bukan hanya gunung dan sungai, tetapi juga keberlanjutan hidup sebuah komunitas adat yang telah menjaga hutan Kalimantan selama ratusan tahun.
Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan