Keadilan Restoratif Loloskan Tersangka Penadah Motor di Kalteng dari Jerat Hukum
CYRUSTIMES, PALANGKA RAYA – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) menyetujui penghentian penuntutan terhadap tersangka berinisial BS dalam kasus penadahan sepeda motor. Keputusan ini diambil berdasarkan prinsip keadilan restoratif setelah tercapai perdamaian antara tersangka dan korban.
Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda (Oharda) Nanang Ibrahim Soleh mengatakan, penghentian penuntutan ini disetujui pada Rabu, 25 Juni 2025. “Tersangka BS disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP,” ujarnya dalam ekspose virtual yang juga dihadiri Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah Dr. Undang Mugopal dan Kajari Kotawaringin Timur Donna Rumiris Sitorus.
Kasus bermula pada 19 April 2025 pukul 14.00 WIB. Sudarto alias Ompong mengambil sepeda motor Honda Beat bernomor polisi AE 6550 EX milik Yasman tanpa izin. Sehari kemudian, Sudarto menawarkan motor curian itu kepada BS seharga Rp 5 juta.
BS kemudian menawar dengan harga Rp 3 juta. Transaksi dilakukan secara bertahap: Rp 2 juta dibayar pada 20 April, Rp 500 ribu pada 21 April, dan sisanya Rp 500 ribu pada 22 April 2025. Motor tersebut dijual tanpa surat-surat lengkap.
Pada 27 April 2025, polisi mengamankan BS beserta sepeda motor hasil penadahan. Korban Yasman mengalami kerugian Rp 10 juta akibat ulah tersangka.
Nanang Ibrahim Soleh menjelaskan, penghentian penuntutan diberikan dengan tiga pertimbangan utama. Pertama, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kedua, ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun. Ketiga, telah tercapai perdamaian antara korban dan tersangka.
“Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini merupakan salah satu upaya Kejaksaan mendekatkan diri dengan masyarakat,” kata Nanang.
Keputusan ini sejalan dengan arahan Jaksa Agung yang mendorong penerapan keadilan restoratif dalam kasus-kasus tertentu. Nanang mengapresiasi kerja keras Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah dan Kejaksaan Negeri Kotawaringin Timur yang memfasilitasi proses perdamaian.
Kejaksaan Negeri Kotawaringin Timur kini diminta menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) dan melaporkannya kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum serta Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah.
Kasus ini menjadi contoh penerapan keadilan restoratif yang mengutamakan pemulihan hubungan antara pelaku dan korban ketimbang pemidanaan. Mekanisme ini dipandang lebih efektif untuk kasus-kasus ringan dengan dampak sosial terbatas.
Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan