CYRUSTIMES, EKONOMI – Dunia kembali dicekik oleh eskalasi perang dagang antara dua raksasa ekonomi global, Amerika Serikat dan Tiongkok. Seakan belum cukup babak-belur dihantam pandemi, kini negara-negara di dunia dipaksa menahan napas di tengah rentetan kebijakan tarif yang kian tak masuk akal. Dan Indonesia, tak terkecuali, berada di tengah pusaran ketegangan itu—terjepit dan terancam.
Perang dagang yang semula terlihat sebagai retorika politik kini benar-benar meletus dalam angka-angka: tarif dasar 10 persen diberlakukan Amerika Serikat ke hampir semua negara mitra dagang—dengan pengecualian langka seperti Rusia dan Korea Utara. Bahkan negara-negara sekutu seperti Australia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong pun tak luput.
Tapi yang paling keras terkena hantaman adalah Tiongkok. Presiden Donald Trump, dalam semangat “Make America Great Again”, mengerek tarif impor barang-barang dari Tiongkok secara bertahap hingga kini menyentuh angka yang mencengangkan: 145 persen. Dunia terperangah. Bahkan teori ekonomi paling liberal pun kehabisan napas mencerna kebijakan itu.
Tak berhenti di situ, negara-negara lain yang dinilai mendapat surplus perdagangan tinggi dari AS juga ikut terkena getah. Dari Lesotho, Myanmar, hingga Indonesia—diberlakukan tarif hingga puluhan persen. Indonesia sendiri dikenai tarif hingga 32 persen.
Indonesia di Tengah Dua Gajah
Bukan hal baru bahwa Indonesia sangat bergantung pada hubungan dagang dengan dua negara adidaya itu. Tiongkok, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), adalah mitra dagang terbesar Indonesia pada 2023, dengan nilai ekspor mencapai 64,93 miliar dolar AS. Produk ekspor utama: nikel, batu bara, ferro alloy, hingga gas petroleum.
