Muhammad Habibi, Direktur Save Our Borneo, dalam pembukaan seminar menyatakan bahwa meskipun regulasi tata kelola telah tersedia, implementasinya di lapangan tidak sejalan dengan cita-cita yang diatur. “Dalam situasi seperti ini, yang paling sering menjadi korban adalah masyarakat. Bahkan tidak jarang masyarakat harus berhadapan dengan sesama anak bangsa aparat keamanan yang berjaga di wilayah perkebunan,” ujarnya.
Habibi berharap buku ini dapat memberikan gambaran persoalan mana yang bisa diselesaikan dalam waktu dekat, jangka menengah, dan jangka panjang.
Menanggapi peluncuran buku tersebut, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gappki) cabang Kalimantan Tengah, Rawing Rambang, menyambut terbuka namun mengingatkan bahwa sawit adalah komoditas andalan yang mengerek ekonomi Indonesia. “Penyumbang devisa terbesar selain batubara,” ujarnya.
Sementara itu, Wahyudi Eko Husodo, Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah yang juga menjadi fasilitator dalam tim Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), mengungkapkan bahwa lahan seluas 481.000 hektar di Kalimantan Tengah telah disita oleh Satgas PKH. Meski demikian, penyitaan tersebut tidak membuat pekerja di perusahaan sawit diberhentikan.
“Industri sawit harus tetap jalan, sambil tim menghitung denda, dan pengelolaan lebih lanjut kebun-kebun yang disita oleh PT Agrinas Palma Nusantara, Badan Usaha Milik Negara. Denda yang diberikan masuk ke kas negara!” tegasnya.
Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita
