Penulis: Dani Ismail
Editor: Marko

Cyrustimes.com | | Jakarta– Korupsi sudah merambah pengelolaan dana desa. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menjadi sasaran.Apabila tidak ada upaya serius untuk mengantisipasi, bukan peningkatan kesejahteraan yang terwujud, melainkan pemerataan korupsi hingga ke pelosok desa.

Melalui kebijakan dana desa, perekonomian dan kesejahteraan masyarakat diharapkan bisa meningkat. Alokasi anggaran yang disediakan pemerintah pun terus bertambah. Pada 2017, total dana desa dari APBN sebesar Rp 60 triliun, bertambah Rp 13,1 triliun daripada tahun sebelumnya. Jika dibagi rata, tiap desa setidaknya akan mengelola uang sebesar Rp 800 juta.

Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017, uang yang diterima pemerintah desa harus digunakan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Di antaranya pengembangan dan perbaikan infrastruktur, prasarana ekonomi, dan pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan perempuan dan anak.

Jika digunakan sesuai aturan, cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa semestinya bisa segera terwujud. Namun, sayangnya, peningkatan alokasi dana desa ternyata malah diiringi peningkatan korupsi.

Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, mengatakan, laporan penyelewengan dana desa sangat tinggi. Sampai akhir 2016 saja, KPK menerima 300 laporan masyarakat soal dugaan penyelewengan dana desa.

Paling tidak ada 48 kasus korupsi dana desa yang sudah masuk dalam tahap penyidikan di kepolisian dan kejaksaan. Kasus menyebar di 16 provinsi, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Jumlah tersangka mencapai 61 orang. Sebagian besar merupakan perangkat desa, terutama kepala desa.

Sisi modus korupsi dana desa umumnya sangat sederhana. Para pelaku masih menggunakan cara-cara lama, seperti:
– markup proyek.
– penggelapan.
– kegiatan atau program fiktif
– pemotongan anggaran.
Modus-modus tersebut tidak memerlukan teknik yang canggih.

Sebagai contoh, program pembangunan dan pengadaan barang. Pelaku menyiasati dengan membuat rencana anggaran biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan standar teknis pembangunan.

Cara lain, mengurangi volume pekerjaan dan membeli barang yang spesifikasinya lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam rencana anggaran.

Dalam program-program pemberdayaan, modus yang sering digunakan adalah membuat kegiatan-kegiatan fiktif: ada dalam pertanggungjawaban keuangan, tetapi tidak ada kegiatan atau barangnya.

Kalaupun ada kegiatan, jumlah peserta dan durasi waktu riil jauh lebih sedikit dibandingkan dalam laporan pertanggungjawaban. Temuan lain, pemotongan honorarium untuk kader desa atau guru mengaji.

Ada beberapa faktor yang membuat para pelaku bisa begitu mudah menyelewengkan dana desa. Pertama, monopoli anggaran. Dominasi penyelenggara desa dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran desa masih sangat besar.