Menata Ulang Ormas di Kalimantan Tengah
EDITORIAL CYRUSTIMES, PALANGKA RAYA – Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Agustiar Sabran membentuk Satuan Tugas (Satgas) Terpadu untuk menangani premanisme dan organisasi kemasyarakatan (Ormas) bermasalah patut diapresiasi. Langkah ini bukan sekadar reaksi sesaat, melainkan respons strategis terhadap ancaman nyata yang menggerogoti iklim investasi dan ketertiban masyarakat di Bumi Tambun Bungai.
Kasus penyegelan sepihak pabrik karet PT Bumi Asri Pasaman oleh anggota GRIB Jaya di Barito Selatan menjadi momentum penting bagi pemerintah daerah untuk mengambil sikap tegas. Ketika sebuah organisasi kemasyarakatan bertindak melampaui batas kewenangannya hingga mengganggu aktivitas ekonomi, maka intervensi negara menjadi keniscayaan.
Pernyataan gubernur bahwa “tidak ada ormas di atas negara” mencerminkan pemahaman yang tepat tentang hierarki kekuasaan dalam sistem demokrasi. Organisasi kemasyarakatan, sebagai bagian dari civil society, memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa. Namun, peran itu harus dijalankan dalam koridor hukum dan tidak boleh menjadi alat intimidasi atau tekanan terhadap dunia usaha.
Yang menarik dari pendekatan Gubernur Agustiar adalah upayanya mengintegrasikan nilai-nilai lokal dalam penanganan masalah ini. Falsafah Huma Betang yang menekankan kebersamaan, toleransi, dan gotong royong menjadi landasan filosofis dalam menyelesaikan konflik. Pendekatan ini lebih holistik ketimbang sekadar mengandalkan instrumen hukum semata.
Namun, tantangan sesungguhnya terletak pada implementasi. Pembentukan satgas terpadu yang melibatkan berbagai instansi memerlukan koordinasi yang solid dan komitmen jangka panjang. Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa satgas serupa seringkali terhenti di tengah jalan karena kurangnya sinergi dan political will yang konsisten.
Lebih dari itu, penanganan ormas bermasalah tidak boleh menggeneralisasi semua organisasi kemasyarakatan sebagai ancaman. Banyak ormas yang berperan positif dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Evaluasi menyeluruh yang dijanjikan gubernur harus dilakukan secara objektif dan transparan, dengan melibatkan partisipasi publik.
Pendekatan preventif yang ditekankan Agustiar melalui edukasi, pembinaan sosial, dan penguatan pemahaman hukum juga patut digarisbawahi. Tindakan represif tanpa menyentuh akar masalah hanya akan menciptakan lingkaran setan. Faktor ekonomi, sosial, dan minimnya pemahaman hukum yang kerap menjadi pemicu munculnya ormas bermasalah perlu ditangani secara komprehensif.
Kalimantan Tengah, dengan potensi sumber daya alamnya yang melimpah, memang menjadi magnet investasi. Namun, stabilitas keamanan dan kepastian hukum menjadi prasyarat mutlak bagi iklim investasi yang sehat. Investor tidak akan datang ke daerah yang diwarnai praktik-praktik intimidasi atau pungutan liar oleh oknum ormas.
Dalam konteks yang lebih luas, langkah Kalimantan Tengah ini bisa menjadi model bagi daerah lain yang menghadapi persoalan serupa. Kombinasi antara ketegasan hukum, pendekatan kultural, dan sinergi lintas instansi dapat menjadi formula efektif dalam menata ulang peran organisasi kemasyarakatan.
Tentu saja, keberhasilan inisiatif ini akan sangat bergantung pada konsistensi pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan. Tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan, baik ekonomi maupun politik, tidak boleh membuat komitmen ini surut di tengah jalan.
Pada akhirnya, cita-cita membangun Kalimantan Tengah yang berkah, maju, dan sejahtera menuju Indonesia Emas 2045 hanya dapat terwujud jika semua elemen masyarakat, termasuk organisasi kemasyarakatan, berperan sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Negara harus hadir untuk memastikan hal itu terjadi, dan Gubernur Agustiar telah mengambil langkah pertama yang tepat.
Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita