Gunung Keramat Terancam, Warga Dayak Melawan Tambang Batu Bara di Muara Mea
Mediasi Tanpa Hasil
Desakan agar laporan terhadap akun “Info X” dicabut disampaikan saat mediasi antara warga dan perusahaan yang difasilitasi Camat Gunung Bintang Awai, TNI, dan Polri. Hermansyah, Tim Legal PT MUTU yang hadir dalam mediasi, justru mengaku tidak tahu-menahu soal pelaporan tersebut.
“Saya tidak pernah melarang wartawan meliput. Tapi sebaiknya ada komunikasi terlebih dahulu saat masuk ke area tambang,” ucapnya.
Pernyataan ini bertolak belakang dengan video yang beredar luas dan diperkuat publikasi Mongabay Indonesia, yang memperlihatkan adanya larangan terhadap aktivitas jurnalistik oleh petugas keamanan perusahaan.
Kenedy, Kaur Perencanaan Desa Muara Mea, menyatakan PT MUTU pernah memberikan program CSR dalam bentuk susu dan kue ke posyandu desa. Namun, menurutnya, itu belum menyentuh akar persoalan. “Mayoritas warga di sini hidup dari pertanian ladang dan rotan. Kalau hutan rusak, bukan cuma air hilang, tapi juga ekonomi kami.”
Pembangunan atau Pemaksaan?
Di balik angka dan dokumen perizinan, suara masyarakat adat seperti terpinggirkan. Prosesi adat, sumber air, ekonomi subsisten, dan nilai-nilai spiritual yang selama ini dijaga perlahan digerus oleh kepentingan investasi.
Dayekson, warga desa berusia 50 tahun, menyebut komunitasnya tidak anti terhadap pembangunan. “Tapi pembangunan yang memaksa kami meninggalkan keyakinan, adat, dan hutan keramat itu bukan kemajuan, itu pemaksaan.”
PT MUTU menekankan komitmennya terhadap praktik penambangan yang baik, yang dibuktikan melalui penghargaan Good Mining Practice (GMP) Award dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) Biru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2024.