NANGA BULIK – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamandau berkomitmen mempercepat proses pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Dayak di wilayahnya. Hal ini disampaikan Bupati Lamandau periode 2025-2030, Rizky Aditya Putra, dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Wakil Bupati Abdul Hamid pada acara diskusi terfokus (FGD) di Aula BPKAD Nanga Bulik, Senin (21/4/2025).

“Perlu menjadi perhatian serius bagi kita semua karena sampai hari ini belum ada komunitas Masyarakat Hukum Adat yang ditetapkan. Hal ini menjadi refleksi kita bersama juga sebagai bahan evaluasi kita, jangan sampai publik mengira bahwa kita tidak menaruh perhatian serius terhadap isu Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Lamandau,” tegas Rizky.

Meskipun Provinsi Kalimantan Tengah telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2024 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak, dan Kabupaten Lamandau sendiri telah menerbitkan Perda Nomor 3 tahun 2023 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak, namun hingga kini belum ada satu pun pengakuan MHA di Kabupaten Lamandau yang ditetapkan.

Masyarakat Adat Lamandau

Menurut Bupati, masyarakat adat tersebar luas hampir di seluruh Kabupaten Lamandau, terutama di wilayah-wilayah hulu. Mereka memiliki pengetahuan yang baik dalam mengelola dan menjaga kelestarian sumber daya alam serta menjaga tradisi selama ratusan generasi. Hal ini misalnya bisa dilihat di daerah aliran sungai Delang, Batangkawa, dan Belantikan.

“Saya mengajak kita bersama-sama yang hadir di sini untuk dapat lebih serius dalam upaya percepatan pengakuan masyarakat hukum adat di Kabupaten Lamandau. Saya berkomitmen untuk terus mendorong kebijakan yang inklusif dan berpihak pada masyarakat adat, sebagai bagian dari upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial,” ucap Bupati dalam sambutannya.

Kendala Pengakuan MHA

Safrudin Mahendra, Direktur Yayasan Insan Hutan Indonesia (YIHUI), lembaga yang ikut memfasilitasi terselenggaranya FGD ini mengatakan, kegiatan ini dilatarbelakangi oleh usulan pengakuan dari Masyarakat Adat Laman Kinipan dan Kubung yang sudah lama diajukan, namun belum juga direspon positif oleh Pemkab Lamandau.

“Dari pemetaan hambatan yang kami lakukan, permasalahan yang paling utama adalah pada batas wilayah adat yang belum selesai. Bahkan wilayah adat Kubung berada di antara dua Provinsi (Kalteng dan Kalbar) yang untuk pengakuan MHA belum ada payung hukumnya jika wilayah Adat Masyarakat Hukum Adat berada di dua provinsi,” jelas Safrudin.

Sementara itu, Kepala Desa Kinipan, Willem Hengki, menyatakan pemerintah daerah jangan sampai menganulir kesepakatan dari bawah yang sudah dicapai antar-desa sehingga menjadi penghambat usulan Kinipan. Ia mengungkapkan Peraturan Bupati (Perbup) Lamandau yang digodok dan disahkan pada periode sebelumnya terkait batas Kinipan bukan berhasil menyelesaikan sengketa batas dengan satu desa saja, tetapi malah mengacaukan kesepakatan yang sudah dicapai Kinipan dengan beberapa desa lainnya.

Mekanisme Pengakuan MHA

Cahya Arie Nugroho dari Kementerian Dalam Negeri yang hadir secara daring menjelaskan, bupati menetapkan pengakuan dan perlindungan MHA berdasarkan rekomendasi panitia MHA. Panitia MHA melakukan identifikasi (yang dijalankan di tingkat kecamatan), lalu memverifikasi dan memberikan validasi sebelum memberikan rekomendasi pada bupati.

“MHA itu tidak dibentuk oleh pemerintah, tapi pemerintah yang mesti memberi pengakuan. Adapun terkait hak-hak adat yang mengikuti, seperti hutan adat masih harus mengikuti regulasi sektoral di Kementerian Kehutanan,” jelasnya.

Dalam diskusi juga dibahas soal usulan wilayah adat yang sudah tidak memiliki hutan adat karena telah berubah fungsi oleh izin konsesi. Terkait hal ini, Aldya Saputra dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengatakan, hal tersebut tidak menjadi masalah dalam usulan pengakuan wilayah adat. Berbagai fungsi hutan dan lahan yang ada di atas wilayah adat, menurutnya, harus diselesaikan kemudian dengan para pihak terkait.

Harapan Masyarakat Adat

Perwakilan komunitas adat lainnya menyambut positif diskusi terfokus ini. Mereka sepakat bahwa setidaknya, pengakuan dan perlindungan subjek masyarakat hukum adat segera diberikan oleh pemerintah. Mereka juga meminta pemerintah daerah mempercepat proses identifikasi, verifikasi, validasi, hingga penetapan MHA.

FGD ini dihadiri berbagai pihak, termasuk para kepala desa, mantir adat, demang, perwakilan masyarakat adat se-Kabupaten Lamandau, pihak Kementerian Dalam Negeri, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Save Our Borneo (SOB) dan berbagai lembaga yang selama ini dikenal mendampingi komunitas masyarakat adat di Lamandau.

Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita