Tarif Naik, Dunia Sesak Napas: Indonesia Terjepit di Tengah Perang Dagang AS-Tiongkok

Ilustrasi Presiden Tiongkok (China), Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Amerika Serikat berada di posisi kedua, dengan nilai ekspor 23,25 miliar dolar AS—dari kelapa sawit hingga ban karet dan tekstil.

Artinya, bila kedua negara ini batuk, Indonesia bisa flu berat. Terlebih, barang-barang dari Tiongkok berpotensi membanjiri pasar dalam negeri, menyusul pengalihan distribusi akibat beban tarif tinggi dari AS.

Tiga Langkah Strategis

Pemerintah Indonesia tak bisa sekadar jadi penonton. Perlu langkah strategis dan taktis untuk bertahan bahkan mencuri peluang dari kekacauan global ini. Pertama, memperkuat fondasi ekonomi nasional. Indonesia harus tahan guncangan dan tidak goyah ketika pasar ekspor terguncang.

Kedua, penyesuaian regulasi impor. Tak bisa dibiarkan pasar domestik dibanjiri produk-produk murah dari negara-negara korban tarif AS. Perlu penguatan pengawasan dan perlindungan terhadap produk dalam negeri.

Ketiga, memperkuat komunikasi dengan pelaku usaha. Dunia usaha berada di garis depan dari dampak perang dagang. Pemerintah harus hadir, memastikan mereka mampu bertahan—bahkan tumbuh—di tengah tekanan global.

Di Tengah Kekacauan, Peluang Tetap Ada

Sejarah mencatat, krisis kerap melahirkan lompatan. Jika dimainkan dengan cerdas, perang dagang ini bisa memberi ruang bagi Indonesia untuk memperkuat posisi tawar. Misalnya, dengan membuka peluang dagang yang lebih menguntungkan dari sisi ekspor nontradisional, atau memperluas pasar baru di luar dua kutub ekonomi dunia itu.

Pemerintah juga perlu lebih luwes dalam melakukan diplomasi ekonomi—membuka komunikasi aktif dengan Washington maupun Beijing. Dunia memang sedang dilanda kekacauan. Tapi di tengah reruntuhan, selalu ada celah untuk tumbuh.

Loading poll ...
Tutup
KERJA SAMA DENGAN KAMI_20250629_231916_0000

You cannot copy content of this page