JERITAN PENULIS – Hampir tiga dekade telah berlalu sejak Fuad Muhammad Syafruddin atau yang lebih dikenal dengan nama pena “Udin” tewas dianiaya. Wartawan harian Bernas Yogyakarta itu menjadi korban kekerasan brutal pada 13 Agustus 1996, hanya karena menjalankan tugas jurnalistiknya: membongkar praktik korupsi di Kabupaten Bantul.
Udin diserang dua orang tak dikenal di halaman rumahnya dengan batang besi. Ia dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi kritis dan meninggal tiga hari kemudian tanpa sempat sadar. Meski sempat mencuat ke ranah nasional, kasus pembunuhan ini tak pernah benar-benar terselesaikan. Pelaku pembunuhan belum juga terungkap hingga kini.
Menjelang kematiannya, Udin tengah menulis serangkaian laporan investigasi tentang dugaan suap dan penyalahgunaan kekuasaan oleh Bupati Bantul kala itu, Kolonel Sri Roso Sudarmo. Salah satu artikelnya menyebut adanya setoran Rp1 miliar kepada Yayasan Dharmais milik Presiden Soeharto agar Sudarmo bisa melanggengkan jabatannya.
Serangkaian tekanan mulai menghampiri Udin. Dari intimidasi, ancaman, hingga bujukan uang untuk menghentikan tulisannya. Namun Udin bergeming. Kepada istrinya, Marsiyem, ia berkata, “Kalau harus mati karena ini, saya siap.”
Setelah penyerangan, sempat muncul upaya pengaburan fakta. Polisi justru menuding bahwa motif pembunuhan adalah persoalan asmara. Seorang sopir bernama Dwi Sumaji ditangkap dan dipaksa mengaku sebagai pelaku. Belakangan, Sumaji mencabut pengakuannya dan menyatakan bahwa ia dipaksa oleh polisi dengan janji uang, pekerjaan, dan wanita.
Marsiyem, yang menjadi saksi mata penyerangan, bersikukuh bahwa Sumaji bukan pelaku. Tim pencari fakta dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan wartawan Bernas turut mengumpulkan bukti bahwa dugaan korupsi pejabat lokal adalah motif paling kuat di balik pembunuhan Udin.
Pengadilan akhirnya membebaskan Sumaji pada November 1997. Namun setelah itu, penyidikan tak berlanjut. Kasus ini pun terbengkalai. Polisi Bantul menyatakan telah menjalankan tugas dengan menyerahkan tersangka ke pengadilan. Sejak itu, tak ada perkembangan berarti.
Sempat ada gugatan dari keluarga Udin terhadap polisi atas manipulasi barang bukti, termasuk pembuangan darah Udin ke laut selatan sebagai “sesajen”. Namun hasilnya nihil. Hanya satu polisi, Sersan Mayor Edy Wuryanto, yang divonis ringan karena menghilangkan barang bukti. Tak ada yang dihukum karena pembunuhan itu sendiri.
“Dia bukan aktivis, bukan pejabat. Dia hanya wartawan biasa yang bekerja untuk media lokal,” tulis laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. AJI kemudian mengabadikan nama Udin dalam sebuah penghargaan tahunan bagi jurnalis yang berani.
Pada 2014, kasus ini secara hukum dinyatakan kedaluwarsa. Namun bagi komunitas pers dan keluarga, luka itu belum sembuh. “Kami tidak akan lupa,” kata Marsiyem dalam satu wawancara. Kini, 29 tahun setelah kepergiannya, Udin tetap menjadi simbol perjuangan atas kebebasan pers dan keberanian jurnalis dalam menghadapi represi kekuasaan.
Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita
