PALANGKA RAYA Dinas Kehutanan (Dishut) Kalimantan Tengah (Kalteng) mengungkapkan bahwa praktik ilegal logging (pembalakan hutan liar) dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi masalah yang terus dihadapi di wilayah tersebut. Hal ini disampaikan oleh Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda Dishut Kalteng, Yeppy Kustiwae, pada acara Festival Rakyat Penjaga Hutan di Hotel Luwansa, Palangka Raya, Selasa (18/2/2025).

Yeppy menyatakan bahwa pihaknya tengah berupaya memperkuat pengawasan terhadap kegiatan ilegal di hutan dengan mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan berperan sebagai polisi hutan. Tujuannya, agar ilegal logging dan karhutla bisa ditekan lebih efektif. “Dengan personel yang ada saat ini, kami terus berkoordinasi dengan pihak terkait dan perangkat desa untuk menjaga kawasan hutan kita,” ujar Yeppy.

Namun, Yeppy juga mengakui masih ada masyarakat yang terlibat dalam pembalakan hutan secara ilegal. Ia menyampaikan bahwa apabila kayu yang ditebang digunakan hanya untuk kebutuhan sehari-hari, pihaknya masih memberikan toleransi. “Tetapi jika kayu itu dijual keluar, itu yang menjadi perhatian utama kita dan tantangan ke depan,” ungkap Yeppy.

Untuk menanggulangi masalah ilegal logging, Dishut Kalteng telah menetapkan kawasan Tanaman Hutan Raya (Tahura) sebagai langkah preventif. Yeppy berharap dengan adanya status kawasan Tahura, masyarakat akan lebih berhati-hati dan berpikir ulang untuk menebang pohon di kawasan tersebut. “Kami juga akan memasang rambu-rambu yang jelas bahwa kawasan ini tidak boleh ditebang,” tegas Yeppy.

Meskipun begitu, masyarakat sekitar masih diperbolehkan untuk memanfaatkan hutan selama kebutuhan tersebut tidak bersifat komersial. “Kami memberikan toleransi jika masyarakat sekitar hanya memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan mereka, namun jika tujuannya untuk dijual ke luar, itu sudah menjadi masalah yang harus kita atasi bersama,” tambahnya.

Selain itu, Dishut Kalteng juga mengandalkan program perhutanan sosial untuk mencegah kebakaran hutan dan pembalakan liar. Melalui skema ini, masyarakat setempat diberi izin untuk mengelola dan menjaga hutan mereka. Di antaranya adalah empat desa di Kecamatan Kahayan Hilir, Pulang Pisau, yakni Desa Gohong, Kalawa, Buntoi, dan Mantaren I. Masyarakat di desa-desa ini mengelola kawasan hutan seluas 16.000 hektare dan berperan aktif dalam melindungi kawasan tersebut.

Disisi lain, Direktur Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK), Mohammad Djauhari, menjelaskan bahwa setiap desa memiliki 20 orang yang bertugas mencegah karhutla, antara lain dengan melakukan pembasahan lahan gambut dan patroli rutin. “Kami juga melakukan restorasi terhadap 11.000 hektare hutan dan gambut di kawasan tersebut,” jelas Djauhari.

Djauhari berharap agar model perhutanan sosial ini dapat diperluas ke desa-desa lain di Kalimantan Tengah, terutama di Pulang Pisau. “Masih ada sekitar 5.000 hektare hutan dengan akses terbuka yang belum dibebani izin, dan meski di sekitar perhutanan sosial terdapat aktivitas perusahaan sawit, jumlahnya tidak begitu banyak,” ujar Djauhari.