JAKARTA– Setelah melewati berbagai proses, dari perencanaan, pembahasan dan penetapan di DPR RI, UU TNI telah ditandatangani Presiden RI, Prabowo Subianto.

Artinya UU TNI dengan perubahan-perubahan di dalamnya telah resmi diberlakukan. Sebagai warga negara yang baik tentu kita harus menghormati implementasi setiap aturan yang berlaku, termasuk UU TNI. Namun bagaimana dengan polemik UU tersebut yang selama ini terjadi?

Dalam pandangannya Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Gerakan Nusantara Raya (DPP PGNR) Oktria Saputra menilai, substansi dari perubahan UU TNI adalah penambahan enam lembaga yang bisa diduduki TNI aktif, yaitu BNPB, BNPT, Badan Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta BNPP.

Kendati demikian, jika di cermati dengan baik, fungsi dari keenam institusi tersebut masih memiliki keterkaitan erat dengan tugas pokok TNI, sehingga kehadiran anggota TNI aktif di dalamnya masih dapat dibenarkan secara fungsional dan kontekstual, mengingat tantangan era saat ini yang begitu kompleks.

“Kita sadari betul bahwa tantangan pertahanan dan keamanan terus berdatangan, baik yang bersifat digital maupun tantangan langsung. Semua itu bisa berasal dari dalam negeri serta luar negeri,”kata Oktaria melalui dirilis Jumat 18 April 2025.

Sebagai contoh lanjutnya, tantangan langsung, China saat ini semakin kuat, telah bertransformasi menjadi salah satu negara penguasa.

“Suatu waktu bisa saja muncul polemik Laut China Selatan, dan kita butuh TNI dengan kesigapan perananya. Di dunia cyber, perlu adanya kontra terhadap potensi peretasan, pencurian data, penyeludupan dengan bantuan media, dan potensi ancaman lainya. Kita butuh kehadiran TNI dengan keberaniannya untuk menuntaskan persoalan semacam ini,”urainya.