Ekonom UPR Nilai Maraknya Pengemis di Kalteng adalah “Bisnis Belas Kasih”
Dampak Negatif Berlapis
Suherman menilai fenomena ini menciptakan dampak negatif berlapis. Pertama, para pengemis hanya menjadi free rider yang memanfaatkan keadaan tanpa berkontribusi pada perekonomian melalui kerja produktif.
Kedua, keberadaan “pebisnis belas kasih” ini justru merugikan mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan. “Mungkin saja di luar sana ada orang yang benar-benar dalam kondisi darurat, sudah tua renta, tidak punya keluarga, tidak punya harta untuk kehidupan sehari-hari. Tapi dengan munculnya pebisnis belas kasih, orang yang memang membutuhkan jadi terabaikan,” katanya.
Akibatnya, masyarakat mengalami trust issue terhadap pengemis yang ada. Ketiga, keberadaan pengemis dalam jumlah besar menurunkan daya tarik Palangka Raya sebagai kota yang berpotensi memengaruhi investasi dan pariwisata.
“Jika keberadaan mereka terus menggerogoti tempat-tempat ramai, ini bisa merusak citra kota yang katanya cantik,” imbuhnya.
Solusi Komprehensif Diperlukan
Untuk mengatasi permasalahan ini, Suherman mengusulkan beberapa solusi komprehensif. Pemerintah harus menciptakan program padat karya atau pelatihan wirausaha mikro dengan insentif yang lebih menarik bagi masyarakat.
“Bukan cuma pemerintah, masyarakat juga perlu diedukasi bahwa memberi uang tunai justru memperpanjang siklus bisnis belas kasih. Bantuan sebaiknya disalurkan lewat program sosial terstruktur melalui lembaga zakat, tempat ibadah, atau lembaga nonprofit kemanusiaan lainnya,” terangnya.
Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi pengemis yang benar-benar tidak mampu versus yang menjadikan ini sebagai profesi. “Berikan bantuan yang berbeda sesuai kondisi mereka. Rehabilitasi sosial bagi mereka yang miskin kronis, sanksi tegas bagi pengemis profesional,” kata Suherman.