Ekonom UPR Nilai Maraknya Pengemis di Kalteng adalah “Bisnis Belas Kasih”

Pengemis meminta-minta di Bundaran Besar Palangka Raya.

CYRUSTIMES, PALANGKA RAYA – Fenomena menjamurnya pengemis di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Kota Palangka Raya, bukan sekadar persoalan sosial biasa. Suherman, pengamat ekonomi dan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Palangka Raya (UPR) sekaligus peneliti di Institute for Economic Research and Training (INTEREST), menyebutnya sebagai “bisnis belas kasih” yang memanfaatkan rasa iba masyarakat sebagai sumber pendapatan.

“Dalam perspektif ekonomi, perilaku seperti ini bisa disebut perilaku rasional karena mengemis bisa memberikan pendapatan tinggi dengan modal minim,” kata Suherman kepada Cyrustimes, Minggu (25/5/2025).

Pengamat ekonomi itu memaparkan bahwa prinsip ekonomi pelaku mengemis sejalan dengan keinginan orang rasional pada umumnya: meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya.

Modal Minim, Keuntungan Maksimal

Menurut analisis Suherman, modal utama para pengemis hanya berupa penampilan memelas dan lokasi strategis seperti persimpangan lampu merah, kafe, depan minimarket, atau tempat ibadah. “Tanpa perlu keterampilan khusus, hanya cukup akting saja, mereka bisa mendapatkan Rp50.000 sampai Rp200.000 per hari, bahkan melebihi upah buruh harian yang bekerja lembur,” jelasnya.

Kondisi ini menciptakan distorsi ekonomi yang mengkhawatirkan. Ketika mengemis lebih menguntungkan daripada bekerja serabutan, hal tersebut berpotensi menarik lebih banyak orang untuk masuk ke “bisnis belas kasih” ini.

“Penawaran (supply) dari masyarakat yang masih mudah memberi menjadi faktor utama. Semakin banyak orang memberi, semakin banyak pula yang tertarik masuk ke bisnis ini,” ungkap dosen FEB UPR tersebut.

Dampak Negatif Berlapis

Suherman menilai fenomena ini menciptakan dampak negatif berlapis. Pertama, para pengemis hanya menjadi free rider yang memanfaatkan keadaan tanpa berkontribusi pada perekonomian melalui kerja produktif.

Kedua, keberadaan “pebisnis belas kasih” ini justru merugikan mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan. “Mungkin saja di luar sana ada orang yang benar-benar dalam kondisi darurat, sudah tua renta, tidak punya keluarga, tidak punya harta untuk kehidupan sehari-hari. Tapi dengan munculnya pebisnis belas kasih, orang yang memang membutuhkan jadi terabaikan,” katanya.

Akibatnya, masyarakat mengalami trust issue terhadap pengemis yang ada. Ketiga, keberadaan pengemis dalam jumlah besar menurunkan daya tarik Palangka Raya sebagai kota yang berpotensi memengaruhi investasi dan pariwisata.

“Jika keberadaan mereka terus menggerogoti tempat-tempat ramai, ini bisa merusak citra kota yang katanya cantik,” imbuhnya.

Solusi Komprehensif Diperlukan

Untuk mengatasi permasalahan ini, Suherman mengusulkan beberapa solusi komprehensif. Pemerintah harus menciptakan program padat karya atau pelatihan wirausaha mikro dengan insentif yang lebih menarik bagi masyarakat.

“Bukan cuma pemerintah, masyarakat juga perlu diedukasi bahwa memberi uang tunai justru memperpanjang siklus bisnis belas kasih. Bantuan sebaiknya disalurkan lewat program sosial terstruktur melalui lembaga zakat, tempat ibadah, atau lembaga nonprofit kemanusiaan lainnya,” terangnya.

Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi pengemis yang benar-benar tidak mampu versus yang menjadikan ini sebagai profesi. “Berikan bantuan yang berbeda sesuai kondisi mereka. Rehabilitasi sosial bagi mereka yang miskin kronis, sanksi tegas bagi pengemis profesional,” kata Suherman.

Penegakan Hukum Harus Tegas

Ekonom lulusan program magister tersebut juga menekankan pentingnya ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum. “Harus ada ketegasan untuk menangkap dan mengamankan mereka ke dalam panti-panti sosial yang tersedia. Kalau belum tersedia, harus disediakan,” tegasnya.

Suherman berharap penanganan fenomena “bisnis belas kasih” ini dilakukan secara holistik melibatkan berbagai pihak. Tanpa langkah komprehensif, keberadaan pengemis profesional akan terus menggerus etos kerja masyarakat dan merusak tatanan sosial ekonomi yang sehat.

“Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal bagaimana kita membangun masyarakat yang produktif dan bermartabat,” pungkas peneliti INTEREST itu.

Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita

Tutup
KERJA SAMA DENGAN KAMI_20250629_231916_0000

You cannot copy content of this page