Harga Beras Naik, Pengamat Sebut Efek Pasca Pemilu 2024
PALANGKA RAYA – Kenaikan harga bahan pokok khususnya beras yang ada di hampir seluruh wilayah di Indonesia menjadi perbincangan semua kalangan. Pasalnya, harga beras tertinggi saat ini mencapai Rp 18.000/kg terpaut jauh dari peraturan Badan Pangan Nasional nomor 7 Tahun 2023 dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras di angka Rp 14.000/kg.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Palangka Raya (UPR) / Peneliti Institute for Economic Research and Training (INTEREST), Suherman mengatakan penyebab kenaikan harga pangan di Indonesia, tentunya bisa diliat dari 2 sisi, baik internal maupun eksternal.
“Beberapa faktor internal itu misalnya fenomena perubahan iklim, infrastruktur pendukung pertanian kurang memadai , kualitas dan produktivitas pangan yang rendah serta gangguan pada rantai pasok (supply chain),” kata Suherman di Palangka Raya, 26 Februari 2024.
Pengamat Ekonom Muda ini menjelaskan Sepanjang 2023 juga bisa lihat fenomena perubahan iklim yang menyebabkan para petani tidak bisa memaksimalkan produksi padinya di sawah.
“Jadi faktor ini juga tidak bisa abaikan. Belum lagi rantai distribusi pangan masih jadi masalah juga, kadang ada yang melakukan penimbunan sehingga menyebabkan kelangkaan,” jelasnya.
Ia menyebut, beberapa faktor eksternal seperti konflik politik yang berlangsung di negara-negara produsen pangan, terjadi krisis energi global, dan juga perubahan nilai tukar yang fluktuatif.
“Diluar itu kita tidak bisa mengesampingkan juga faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku konsumen, seperti spekulasi, ketakutan, dan kepanikan,” ucapnya.
Sedangkan, lanjut Suherman, kalau berbicara dampak langsung pemilihan umum (pemilu) 2024 dengan harga pangan tersebut belum bisa dipastikan. Namun yang pasti kemungkinan adanya kenaikan harga bisa jadi karena meningkatnya permintaan dan pengeluaran masyarakat, serta adanya potensi konflik dan ketidakstabilan politik pasca pemilu 2024.
Selain itu bisa kita anggap bahwa tradisi menjelang Ramadhan juga turut berpengaruh terhadap harga pangan, karena biasanya permintaan akan bahan pangan utama kayak beras, telur, daging, dan minyak goreng, akan mengalami peningkatan seiring dengan persiapan masyarakat menyambut bulan suci ramadhan.
“Hal itu tentunya bisa menyebabkan kelangkaan dan keterbatasan pasokan, sehingga harga menjadi naik. Tapi perlu dilakukan riset yang komprehensif untuk memastikan akar masalah dari kenaikan harga ini,” tuturnya.
Dengan efek harga pangan yang meroket dikhawatirkan masyarakat akan punic buying hal itu j berkiblat pada masa Pandemi COVID-19 kenaikan harga yang meroket bisa memicu panic buying bagi masyarakat, khususnya terutama kalau disertai dengan informasi yang tidak benar, tidak transparan, atau menyesatkan.
Panic buying itu merupakan perilaku membeli barang dalam jumlah besar karena takut kehabisan atau tidak tersedia di masa depan. Panic buying bisa berdampak negatif bagi ketersediaan dan stabilitas harga pangan, karena bisa menimbulkan kelangkaan yang parah.
“Oleh karena itu alangkah baiknya panic buying sebaiknya dihindari dan jadi konsumen yang rasional dan bijak dalam menyikapi suatu fenomena perubahan harga seperti sekarang ini,” terangnya.
Ia menghimbau pada produsen jangan ada yang melakukan penimbunan beras agar tidak membuat harga pangan semakin tinggi. Peran pemerintah diperlukan agar potensi potensi spekulasi yang terjadi di masyarakat bisa diatasi.
“Ini pekerjaan rumah (PR) pemerintah adalah memastikan stok beras ini segera tersedia untuk memenuhi permintaan pasar. Pemenuhan ini bisa dilakukan dengan impor dari negara produsen beras atau mendorong kemampuan petani lokal dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas beras di tanah air,” pungkasnya.
Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita