SITUBONDO – Janji perubahan yang digembar-gemborkan pada awal kepemimpinan dengan slogan “Tak Congocoa Tak Co’ngico’a” kini mulai dianggap sebatas pepesan kosong. Di lapangan, dugaan praktik ijon proyek justru dinilai masih berlangsung, bahkan disebut lebih sistematis dibanding masa pemerintahan sebelumnya.
Sejumlah proyek yang dikerjakan dari APBD 2025 menunjukkan dugaan tanda-tanda penghematan biaya yang tak wajar, mulai dari pemakaian material murah, pengerjaan asal jadi, hingga kontraktor yang diduga sudah “disiapkan” sebelum tender berjalan. Hal ini memunculkan bahwa pembagian jatah proyek masih terjadi, hanya pemainnya yang berganti.
Seorang aktivis pemantau kebijakan sekaligus Sekjen LSM Teropong Timur, Wahyudi, menyentil keras pemerintahan saat ini.
“Dulu kita dikasih drama proyek ijon yang terang-terangan, sehingga pemerintah yang dulu sampai ditangkap KPK, Sekarang dibungkus dengan jargon moral. Diduga hasil bangunannya, hotmixnya sama saja, bahkan lebih buruk. Kalau kualitas turun, artinya ada sesuatu yang sudah habis sebelum proyek jalan.” Ujarnya, Minggu, 02 November 2025.
Di beberapa titik pekerjaan fisik, terdapat material batu dan pasir yang diduga diambil dari sekitar lokasi, tanpa standar teknis yang seharusnya dipenuhi dalam proyek pemerintah. Kondisi tersebut memperkuat dugaan bahwa kontraktor sedang mengejar sisa keuntungan, karena sebagian dana sudah ‘mengalir’ sebelum alat dan pekerja datang.
Lebih jauh, ia mulai mempertanyakan keberanian pemerintah daerah untuk benar-benar memutus mata rantai “mafia proyek” yang selama bertahun-tahun dianggap menguasai pengadaan.
Kekecewaannya kian menguat, karena slogan nilai moral yang sempat menjadi kebanggaan politik ternyata tak tercermin dalam mutu kerja nyata. Pembangunan yang seharusnya menjadi wujud pelayanan publik justru kembali dihantui aroma kesepakatan kotor.
Jika slogan hanya jadi pajangan, maka masa depan pembangunan Situbondo akan kembali dipertaruhkan oleh kepentingan gelap segelintir orang.
Lalu siapa yang bermain dalam pusaran dugaan ijon proyek tersebut?
Apakah praktik ini terjadi di level kontraktor semata, atau justru melibatkan oknum di lingkup dinas teknis, termasuk pejabat pembuat komitmen (PPK) yang memiliki kendali penuh atas spesifikasi, penunjukan penyedia, dan pengawasan pekerjaan?
Sejumlah kalangan menilai, pola yang terjadi bukan lagi kesalahan pelaksana di lapangan, melainkan sistem kerja yang sudah tertata dari hulu ke hilir.
Bersambung. . . . . . .
