“Tanah itu bukan kosong. Ada kebun, tanaman, bahkan rumah tinggal. Tapi tiba-tiba diklaim sepihak oleh Hadi melalui kelompok tani Jadi Makmur,” kata seorang tokoh masyarakat Lewu Taheta, Sabaru.
Situasi ini memicu kecemburuan sosial, khususnya di kalangan masyarakat Dayak bantaran Sungai Kahayan seperti Bereng Bengkel, Kameloh, hingga Sabaru. Hingga kini banyak di antara mereka yang belum memiliki lahan legal di daratan.
“Organisasi masyarakat Dayak seolah lumpuh menghadapi manuver satu orang pejabat. Ini memalukan. Masyarakat Dayak asli justru kehilangan haknya,” ujar seorang warga dalam aksi penolakan klaim lahan di Sabaru.
Kalteng Watch menilai kasus ini menjadi ujian serius bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Gumpul mendesak aparat tidak ragu menindak jika terbukti ada pelanggaran.
“Jika aparat diam, kesannya hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Kita butuh ketegasan, bukan kompromi dengan pelaku penyalahgunaan wewenang,” tegasnya.
Hingga kini Inspektorat Kota Palangka Raya belum memberikan keterangan resmi terkait desakan audit. Gumpul memastikan pihaknya akan mengawal kasus ini, termasuk mengumpulkan bukti dan saksi untuk mendorong penyelidikan kejaksaan maupun kepolisian.
Menurut keterangan warga yang identitasnya dirahasiakan, Hadi sempat menjadi bagian dari tim pemenangan pasangan calon tertentu. Saat ini, dia menjabat sebagai Kepala Bidang dan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perhubungan Kota Palangka Raya.
Kasus ini disebut menjadi momentum membangun tata kelola agraria yang adil, khususnya bagi masyarakat adat Dayak. Publik menanti apakah pemerintah berani menindak atau justru membiarkan praktik mafia tanah terus mengakar.

Tinggalkan Balasan