Jurnalis lain bercerita, “Saya mendapat undangan untuk mengikuti acara jogging bersama Gubernur. Ketika saya baru datang, langsung diusir oleh Satpol PP yang menjaga rumah jabatan, alasannya karena saya memakai celana pendek. Aneh, bukan? Ini acara olahraga, kecuali undangannya untuk acara pengajian, wajar kalau saya disuruh pulang dulu ganti celana panjang.”

“Ada lagi kejadian lain. Waktu itu tahun 2023, saya mengangkat berita adanya dugaan begal di Palangka Raya. Saya saat itu sudah melakukan konfirmasi kepada semua pihak termasuk Kapolsek, karena pihak mereka menerima laporan adanya begal dari masyarakat. Namun, setelah saya mempublikasikan berita itu, tidak lama kemudian saya diundang oleh pihak Aparat Penegak Hukum dengan cara yang cukup bersahabat. Eh, setibanya di sana, saya justru seperti disidang dan diminta untuk tidak memuat berita yang menimbulkan kegaduhan,” lanjutnya.

“Kami, baik sebelum maupun sesudah aksi terkait kebijakan pemerintah, tidak sedikit mengalami teror melalui undangan ngopi santai oleh pasukan coklat, dan setelah itu ada ungkapan penutup untuk menghentikan aktivitas kami,” tambah salah satu mahasiswa kampus negeri di Kalimantan Tengah.

Ketika Undangan Menjadi Intimidasi

Pengakuan-pengakuan tersebut menjadi pokok pembahasan terkait gaya humanis yang sebenarnya menakutkan. Dengan mengundang mereka untuk “santai semu”, adalah hal yang menebarkan ketakutan tersendiri bagi mereka. Gaya persuasif tersebut menjadi bentuk teror yang justru berdampak menakutkan. Tentu hal ini tidak bisa digeneralisasi untuk semua orang. Namun, beberapa orang yang merasakan ketidaknyamanan dan ketakutan dari gaya humanis itu menjadi bukti bahwa apa yang terjadi adalah “Teror Bergaya Humanis” oleh pemerintah sendiri terhadap warga negaranya.

Demokrasi yang Sesungguhnya

Negara seharusnya berkewajiban memberikan rasa nyaman dan keadilan bagi warganya. Bentuk demokrasi kita tidak seharusnya ditafsirkan hanya soal pemilihan saja, namun kebebasan berekspresi adalah hal mutlak dalam demokrasi.

Ketika undangan kopi santai, olahraga bersama, atau pertemuan informal lainnya berubah menjadi ruang intimidasi terselubung, maka sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan erosi nilai-nilai demokrasi yang fundamental. Perlu ada kesadaran kolektif bahwa kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan pers dan kebebasan akademik, adalah tonggak utama negara demokrasi.

Teror bergaya humanis ini harus dihentikan. Pemerintah perlu menghormati kebebasan pers dan kebebasan berekspresi sesuai dengan konstitusi. Sementara masyarakat sipil, termasuk jurnalis dan mahasiswa, harus terus membangun solidaritas untuk melindungi ruang-ruang demokratis yang semakin terancam.

Demokrasi sejati tidak hanya soal prosedur pemilihan umum, tetapi juga tentang perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak fundamental warga negara. Jika teror bergaya humanis ini dibiarkan, lambat laun demokrasi kita hanya akan menjadi sekadar formalitas belaka.

Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita