Marsiyem, yang menjadi saksi mata penyerangan, bersikukuh bahwa Sumaji bukan pelaku. Tim pencari fakta dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan wartawan Bernas turut mengumpulkan bukti bahwa dugaan korupsi pejabat lokal adalah motif paling kuat di balik pembunuhan Udin.

Pengadilan akhirnya membebaskan Sumaji pada November 1997. Namun setelah itu, penyidikan tak berlanjut. Kasus ini pun terbengkalai. Polisi Bantul menyatakan telah menjalankan tugas dengan menyerahkan tersangka ke pengadilan. Sejak itu, tak ada perkembangan berarti.

Sempat ada gugatan dari keluarga Udin terhadap polisi atas manipulasi barang bukti, termasuk pembuangan darah Udin ke laut selatan sebagai “sesajen”. Namun hasilnya nihil. Hanya satu polisi, Sersan Mayor Edy Wuryanto, yang divonis ringan karena menghilangkan barang bukti. Tak ada yang dihukum karena pembunuhan itu sendiri.

“Dia bukan aktivis, bukan pejabat. Dia hanya wartawan biasa yang bekerja untuk media lokal,” tulis laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. AJI kemudian mengabadikan nama Udin dalam sebuah penghargaan tahunan bagi jurnalis yang berani.

Pada 2014, kasus ini secara hukum dinyatakan kedaluwarsa. Namun bagi komunitas pers dan keluarga, luka itu belum sembuh. “Kami tidak akan lupa,” kata Marsiyem dalam satu wawancara. Kini, 29 tahun setelah kepergiannya, Udin tetap menjadi simbol perjuangan atas kebebasan pers dan keberanian jurnalis dalam menghadapi represi kekuasaan.

Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita

Gubernur
Wali Kota
Bupati
Diskominfo
Disbun
Disdik
Dishut
Alman