CYRUSTIMES, PALANGKA RAYA – Pengamat Ekonomi dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Palangka Raya, Suherman, mengkritik keras narasi yang menyebut dosen dan guru sebagai “beban negara”. Meski pernyataan tersebut telah diklarifikasi sebagai hoaks, dampaknya masih terasa di tengah kontroversi tunjangan rumah anggota DPR sebesar Rp50 juta per bulan.
“Bu Menteri, dosen dan guru itu bukan beban negara,” tegas Suherman yang juga Peneliti di Institute for Economic Research and Training (INTEREST), Minggu (24/8/2025).
Menurutnya, penggunaan istilah “beban” sangat tidak tepat dari perspektif ekonomi. Kata tersebut bukan hanya menyesatkan secara konseptual, tetapi juga berbahaya karena dapat menurunkan penghargaan publik terhadap profesi yang menjadi pilar pembangunan bangsa.
“Mari kita jujur saja, tanpa adanya dosen dan guru, tidak akan ada dokter hebat, tidak ada insinyur, tidak ada ekonom, politisi, bahkan para birokrat yang hari ini duduk di kementerian,” jelasnya.
Suherman menegaskan bahwa pendidikan memang menghabiskan anggaran besar, tetapi besar bukan berarti boros. Setiap rupiah yang dibayarkan kepada dosen dan guru akan kembali ke masyarakat dalam bentuk peningkatan produktivitas dan inovasi.
Ia mencontohkan kondisi dosen dan guru saat ini yang banyak melakukan kerja sampingan karena upah tidak mencukupi kehidupan layak. “Apalagi yang dosen kontrak dan guru honorer, banyak di antara mereka yang benar-benar diupah jauh di bawah UMR,” katanya.
Narasi keliru ini dapat menimbulkan demoralisasi di kalangan pendidik. “Jika semangat pendidik melemah, kerugiannya tidak hanya dirasakan di ruang kelas, tetapi juga dalam jangka panjang melalui rendahnya produktivitas nasional,” ujarnya.
Suherman mengkritik pemerintah yang dinilai pilih kasih dalam mengalokasikan anggaran. “Pemerintah jangan memanjakan Anggota DPR yang saat ini mendapatkan tunjangan rumah per bulan Rp50 juta. Take home pay mereka bisa Rp100 juta lebih sebulan,” kritiknya.
Sementara itu, dosen dan guru di luar sana ada yang berjuang memiliki rumah. “Bahkan 20 tahun kredit rumah yang harganya cuma Rp180 juta saja sudah kewalahan dengan gaji mereka di bawah UMR,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa kritik utama bukan pada jumlah anggaran yang mengalir ke sektor pendidikan, melainkan pada cara pemerintah mengelola dan mengalokasikannya. Masalah efisiensi dan distribusi anggaran perlu diperbaiki.
“Pendidikan Indonesia adalah harga mati untuk menyambut Indonesia emas. Jangan ditawar, jangan diabaikan,” pungkas Suherman.
Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita

Tinggalkan Balasan