CYRUSTIMES, PALANGKA RAYA – Inspektur Polisi Satu (Iptu) SY, perwira aktif di Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, ditetapkan sebagai tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap istrinya yang juga berpangkat Iptu AS. Kasus ini menjadi sorotan setelah korban, melalui kuasa hukumnya, mendesak transparansi proses hukum dan penahanan terhadap tersangka.

Penetapan status tersangka tertuang dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) Nomor B/243/IV/RES.1.24/2025/Ditreskrimum tertanggal 24 April 2025. SY diduga melanggar Pasal 44 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Perwira Polda Kalteng Tersangka KDRT, Korban Minta Penahanan Segera
Kuasa Hukum Korban, Apriel H. Napitupulu saat diwawancara awak media di depan Kantor Ditreskrimum Polda Kalteng

“Tindakan KDRT ini telah berlangsung sejak 2013, dengan kejadian terakhir pada 8 April 2024 yang turut melibatkan anak kandung mereka berinisial AD,” kata Apriel H. Napitupulu dari AHN Law Office, kuasa hukum korban, dalam keterangan kepada wartawan di Polda Kalteng, Senin, 5 Mei 2025.

Apriel menegaskan bahwa perbuatan tersebut jelas melanggar Pasal 13 huruf (h) Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 yang melarang anggota Polri melakukan tindakan KDRT. Ancaman hukuman untuk kasus ini mencapai lima tahun penjara.

Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, hingga kini SY belum ditahan dan masih aktif menjabat sebagai Panit 2 Unit 3 Subbidpaminal Bidpropam Polda Kalteng, posisi yang paradoksal karena unit ini bertugas mengawasi perilaku anggota kepolisian.

“Penetapan tersangka semestinya diikuti penahanan. KUHAP memberikan dasar yang kuat untuk itu, terutama karena ancaman hukumannya lebih dari lima tahun,” ujar Apriel, yang menilai inkonsistensi ini mencederai rasa keadilan dan citra institusi Polri.

Kuasa hukum korban juga mengkritisi ketertutupan Bidpropam Polda Kalteng. Mereka menyebutkan kliennya tidak pernah menerima salinan keputusan disiplin terhadap SY berdasarkan KEP/15/X/2024. Selain itu, laporan AS pada 24 Juni 2024 tidak ditindaklanjuti secara layak karena tidak dikeluarkannya surat tanda terima laporan.

Namun, kuasa hukum SY memberikan bantahan keras. Suriansyah Halim, pengacara tersangka, menyatakan bahwa status tersangka tidak serta-merta membuktikan kesalahan kliennya.

“Status tersangka itu sah-sah saja, tapi tidak bisa membuktikan tersangka pasti bersalah. Namanya juga sangkaan. Beda halnya kalau semua sudah diuji melalui pengadilan,” kata Suriansyah melalui sambungan telepon.

Ia juga membantah terjadinya KDRT, dengan menyatakan hasil visum tidak membuktikan adanya tanda-tanda kekerasan fisik. “Dari hasil visum sendiri yang dilaporkan oleh yang mengaku sebagai korban, tidak ada bukti pemukulan,” tegasnya.

Lebih jauh, Suriansyah mengklaim bahwa justru kliennyalah korban sebenarnya. Menurut penjelasan yang ia terima, pelapor datang ke rumah SY bersama tiga atau empat orang lain, kemudian mengambil barang dan dompet milik kliennya. “Video yang dijadikan dasar tuduhan KDRT itu adalah video editan, bukan rekaman kejadian utuh,” katanya.

Ketika dikonfirmasi, Kabid Humas Polda Kalteng, Kombes Pol Erlan Munaji, menyatakan akan menanyakan kasus tersebut kepada divisi terkait untuk tindak lanjut. “Nanti kita tanyakan ke penyidik dulu,” ujarnya melalui pesan singkat.

Kasus ini menambah daftar panjang kontroversi penanganan kasus KDRT yang melibatkan aparat kepolisian, di mana aspek perlindungan korban dan transparansi proses hukum kerap dipertanyakan.

Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita

Gubernur
Wali Kota
Bupati
Diskominfo
Disbun
Disdik
Dishut
Alman