PANGKALAN BUN – Syachyunie (48), Kepala Desa (Kades) Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, dituntut satu tahun penjara atas tuduhan menjadi dalang pemortalan (penutupan akses) ke perkebunan PT Sungai Rangit Sampoerna Agro oleh masyarakat di desanya. Tuntutan ini dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, Nurike Rindhahayuningpintra, dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun pada Selasa (11/3/2025).

Sidang ini merupakan kelanjutan dari proses hukum yang dipandang oleh para aktivis pembela HAM, masyarakat adat, dan lingkungan hidup sebagai bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan masyarakat adat untuk memperoleh haknya atas tanah leluhur mereka yang terancam oleh perusahaan sawit berskala besar.

Gregorius Retas Daeng, salah seorang advokat dari 6 kuasa hukum yang membela Kades Tempayung, mengatakan, “Tuntutan satu tahun, dua tahun, atau lebih, bagi kami adalah bentuk pembungkaman perjuangan rakyat. Ini adalah cara untuk mengkriminalisasi warga negara yang menuntut haknya.”

Menurut Tim Penasihat Hukum, tuntutan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat, karena jaksa dan majelis hakim gagal membuktikan bahwa Syachyunie terlibat langsung dalam tindakan pemortalan. “Kades hanya memastikan agar aksi solidaritas masyarakat adat Tempayung berjalan aman, damai, dan tidak anarkis,” jelas Gregorius.

Aksi pemortalan dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat adat Tempayung dengan kesadaran penuh. “Bagaimana mungkin perbuatan yang dilakukan bersama-sama dibebankan kepada satu orang? Seharusnya, jika ada yang dituntut, harusnya seluruh masyarakat yang terlibat,” tambahnya.

Fakta di persidangan menunjukkan bahwa tidak ada saksi fakta yang memberatkan Kades Tempayung, kecuali tiga saksi yang merupakan karyawan PT Sungai Rangit, yang memberikan keterangan tidak konsisten dan tidak dapat membuktikan keterlibatan Kades dalam aksi pemortalan.

Meskipun aksi pemortalan dilakukan, Koalisi Keadilan untuk Tempayung menyatakan bahwa itu bukan aksi kriminal, melainkan bentuk perjuangan masyarakat adat untuk menuntut hak mereka, terutama hak plasma dari perusahaan sawit tersebut. Masyarakat Tempayung sudah menyampaikan tuntutan tersebut kepada perusahaan jauh sebelum pemortalan dilakukan.

Saksi Demang Adat Kotawaringin Lama yang dihadirkan oleh jaksa menyatakan bahwa portal adat yang dipasang oleh Mantir dan masyarakat Tempayung adalah sah. Hal ini diperkuat oleh keterangan Ahli Masyarakat Adat dari Universitas Palangka Raya, Paulus Alfonso Yance Danaryanto, yang menjelaskan bahwa prosesnya sesuai dengan ketentuan adat dalam Peraturan Daerah Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak.

Penuntut Umum mencoba memberikan pembenaran atas dakwaannya dengan menyebutkan bahwa portal-portal tersebut dibangun di kebun perusahaan yang memiliki Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), tetapi masyarakat Tempayung meminta agar perusahaan menunjukkan secara transparan luas kebun yang dimilikinya. Permintaan tersebut tidak dipenuhi, hingga akhirnya polisi dan pihak perusahaan membuka paksa portal tersebut pada akhir September 2024 dan menangkap Kades Tempayung.