Modal utama para pengemis hanya berupa penampilan memelas dan lokasi strategis seperti persimpangan lampu merah, kafe, depan minimarket, atau tempat ibadah. “Tanpa perlu keterampilan khusus, hanya cukup akting saja, mereka bisa mendapatkan Rp50.000 sampai Rp200.000 per hari, bahkan melebihi upah buruh harian yang bekerja lembur,” jelasnya.
Kondisi ini menciptakan distorsi ekonomi yang mengkhawatirkan. Ketika mengemis lebih menguntungkan daripada bekerja serabutan, hal tersebut berpotensi menarik lebih banyak orang untuk masuk ke “bisnis belas kasih” ini.
Dampak Berlapis pada Masyarakat
Kedua akademisi sepakat bahwa fenomena ini menciptakan dampak negatif berlapis. Pertama, para pengemis hanya menjadi free rider yang memanfaatkan keadaan tanpa berkontribusi pada perekonomian melalui kerja produktif.
Kedua, keberadaan “pebisnis belas kasih” ini justru merugikan mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan. “Mungkin saja di luar sana ada orang yang benar-benar dalam kondisi darurat, sudah tua renta, tidak punya keluarga, tidak punya harta untuk kehidupan sehari-hari. Tapi dengan munculnya pebisnis belas kasih, orang yang memang membutuhkan jadi terabaikan,” kata Suherman.
Akibatnya, masyarakat mengalami trust issue terhadap pengemis yang ada. Ketiga, keberadaan pengemis dalam jumlah besar menurunkan daya tarik Palangka Raya sebagai kota yang berpotensi memengaruhi investasi dan pariwisata.
“Pengemis kaya berhasil melakukan manipulasi simbol kemiskinan, jadi banyak yang membela. Padahal fenomena ini juga simbol kegagalan negara,” tambah Yuliana.
Kendala Hukum dan Implementasi
Sebenarnya, Pemerintah Kota Palangka Raya telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 yang melarang aktivitas mengemis. Dalam peraturan tersebut, tidak hanya pengemis yang dilarang beraktivitas, tetapi juga masyarakat yang memberikan uang kepada pengemis.
Namun, implementasi peraturan ini masih menghadapi tantangan, terutama terkait edukasi masyarakat. “Penawaran (supply) dari masyarakat yang masih mudah memberi menjadi faktor utama. Semakin banyak orang memberi, semakin banyak pula yang tertarik masuk ke bisnis ini,” ungkap Suherman.
Solusi Komprehensif Diperlukan
Untuk mengatasi permasalahan ini, kedua akademisi mengusulkan solusi komprehensif yang melibatkan berbagai pihak.
Yuliana menyarankan tiga langkah strategis: penertiban dari pemerintah terhadap praktik “pengemis kaya”, edukasi kepada masyarakat tentang norma kedermawanan agar tidak memberi sumbangan sembarangan, dan pembentukan lembaga penyalur bantuan bagi orang miskin yang tepat sasaran.
Sementara Suherman menekankan pentingnya program padat karya atau pelatihan wirausaha mikro dengan insentif menarik. “Bukan cuma pemerintah, masyarakat juga perlu diedukasi bahwa memberi uang tunai justru memperpanjang siklus bisnis belas kasih. Bantuan sebaiknya disalurkan lewat program sosial terstruktur melalui lembaga zakat, tempat ibadah, atau lembaga nonprofit kemanusiaan lainnya,” terangnya.
Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi pengemis yang benar-benar tidak mampu versus yang menjadikan ini sebagai profesi. “Berikan bantuan yang berbeda sesuai kondisi mereka. Rehabilitasi sosial bagi mereka yang miskin kronis, sanksi tegas bagi pengemis profesional,” kata Suherman.
