“Penetapan tersangka semestinya diikuti penahanan. KUHAP memberikan dasar yang kuat untuk itu, terutama karena ancaman hukumannya lebih dari lima tahun,” ujar Apriel, yang menilai inkonsistensi ini mencederai rasa keadilan dan citra institusi Polri.
Kuasa hukum korban juga mengkritisi ketertutupan Bidpropam Polda Kalteng. Mereka menyebutkan kliennya tidak pernah menerima salinan keputusan disiplin terhadap SY berdasarkan KEP/15/X/2024. Selain itu, laporan AS pada 24 Juni 2024 tidak ditindaklanjuti secara layak karena tidak dikeluarkannya surat tanda terima laporan.
Namun, kuasa hukum SY memberikan bantahan keras. Suriansyah Halim, pengacara tersangka, menyatakan bahwa status tersangka tidak serta-merta membuktikan kesalahan kliennya.
“Status tersangka itu sah-sah saja, tapi tidak bisa membuktikan tersangka pasti bersalah. Namanya juga sangkaan. Beda halnya kalau semua sudah diuji melalui pengadilan,” kata Suriansyah melalui sambungan telepon.
Ia juga membantah terjadinya KDRT, dengan menyatakan hasil visum tidak membuktikan adanya tanda-tanda kekerasan fisik. “Dari hasil visum sendiri yang dilaporkan oleh yang mengaku sebagai korban, tidak ada bukti pemukulan,” tegasnya.
Lebih jauh, Suriansyah mengklaim bahwa justru kliennyalah korban sebenarnya. Menurut penjelasan yang ia terima, pelapor datang ke rumah SY bersama tiga atau empat orang lain, kemudian mengambil barang dan dompet milik kliennya. “Video yang dijadikan dasar tuduhan KDRT itu adalah video editan, bukan rekaman kejadian utuh,” katanya.
