Mekanisme Pengakuan MHA
Cahya Arie Nugroho dari Kementerian Dalam Negeri yang hadir secara daring menjelaskan, bupati menetapkan pengakuan dan perlindungan MHA berdasarkan rekomendasi panitia MHA. Panitia MHA melakukan identifikasi (yang dijalankan di tingkat kecamatan), lalu memverifikasi dan memberikan validasi sebelum memberikan rekomendasi pada bupati.
“MHA itu tidak dibentuk oleh pemerintah, tapi pemerintah yang mesti memberi pengakuan. Adapun terkait hak-hak adat yang mengikuti, seperti hutan adat masih harus mengikuti regulasi sektoral di Kementerian Kehutanan,” jelasnya.
Dalam diskusi juga dibahas soal usulan wilayah adat yang sudah tidak memiliki hutan adat karena telah berubah fungsi oleh izin konsesi. Terkait hal ini, Aldya Saputra dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengatakan, hal tersebut tidak menjadi masalah dalam usulan pengakuan wilayah adat. Berbagai fungsi hutan dan lahan yang ada di atas wilayah adat, menurutnya, harus diselesaikan kemudian dengan para pihak terkait.
Harapan Masyarakat Adat
Perwakilan komunitas adat lainnya menyambut positif diskusi terfokus ini. Mereka sepakat bahwa setidaknya, pengakuan dan perlindungan subjek masyarakat hukum adat segera diberikan oleh pemerintah. Mereka juga meminta pemerintah daerah mempercepat proses identifikasi, verifikasi, validasi, hingga penetapan MHA.
FGD ini dihadiri berbagai pihak, termasuk para kepala desa, mantir adat, demang, perwakilan masyarakat adat se-Kabupaten Lamandau, pihak Kementerian Dalam Negeri, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Save Our Borneo (SOB) dan berbagai lembaga yang selama ini dikenal mendampingi komunitas masyarakat adat di Lamandau.
Simak Berita Lainnya dari Cyrustimes dengan Mengikuti di Google Berita
